Saung Karsa
  • Beranda
  • Puisi
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerbung
  • Nonfiksi
    • Esai
    • Kritik Sastra
    • Kritik Film
  • Kegiatan
    • 30 HBB
    • Tiga Pilar Kata
  • Galeri
  • • Kirim Karya •

Malam sudah larut, lampu-lampu taman sudah dipadamkan. Tinggal beberapa penerang jalan yang bersinar redup dan malas. Seorang perempuan muda masih duduk di bangku yang berseberangan dengan meja kosong para pedagang kaki lima yang telah selesai menggelar dagangan. Ia mengisap sebatang rokok sembari bertopang dagu. Kakinya yang putih mulus disilangkan sehingga rok mini dua jengkal yang dikenakannya terangkat hampir ke pangkal paha. Sungguh suatu pemandangan indah yang membuat taman gelap itu jadi sedikit bernyawa.

Dua hingga tiga lelaki tampak mendekatinya—ah, tidak ... sebenarnya mungkin sudah puluhan jika dihitung dari awal malam tadi. Para lelaki itu mengajaknya pergi, tetapi selalu ditolak dengan halus disertai gelengan kepala sehingga para lelaki itu terpaksa berpindah tempat ke perempuan lain yang berjajar rapat hampir di setiap sudut taman. Perempuan-perempuan malam itu akan tetap mangkal hingga jauh malam, menunggu kedatangan para pelanggan untuk menangguk pundi-pundi rupiah.

"Tumben, Rin," sapa temannya yang mempunyai ukuran dada luar biasa besar. Rini, perempuan yang duduk itu, mendongak. Dia tersenyum lalu membuang puntung rokoknya.

"Sedang tidak enak badan," jawabnya sambil melirik perempuan berdada besar yang kini duduk di sampingnya. "Kamu sendiri? Apa menunggu kekasihmu?"

"Yup, dia booking untuk lima hari, Rin."

"Wuihhh, berapa tarifnya? Semalam bisa berapa ronde? Kekuatan dia bikin gempa di ranjang dapat nilai berapa?"

Perempuan yang ditanya malah tertawa. "Biasalah untuk kirim ke kampung. Tahu sendiri kan suamiku nganggur."

"Lho, doyan tah suamimu makan duit tubuh istrinya? Hahaha. Gila sih itu."

"Huss! Mulutmu itu sadis!" gerutu perempuan berdada besar itu sambil menyalakan sebatang rokok.

"Lha ya toh? Istrinya dibiarin jual diri tiap malam, terus dia enak-enakan makan duitnya. Kok ketelan, ya? Dasar anjing!"

Perempuan berdada besar itu makin merengut. Perlahan ia mencubit paha Rini hingga perempuan cantik itu berteriak-teriak kesakitan minta dilepaskan. Pada saat bersamaan, sebuah mobil putih berhenti. Perempuan berdada besar itu mendadak berbinar-binar sambil berdiri. "Jemputan aku datang, nih. Aku duluan, ya."

"Yuhuuu! Pergi sana, jangan sampai letoy kau, ya, hahaha," balas Rini sambil terbahak.

Perempuan berdada besar itu mencibir lalu segera balik badan dan pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik kembali.

"Rin, kamu beneran kagak enak badan? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Ini kamu di sini tinggal sendiri, loh."

"Kagak apa-apa. Sudah pergi, sana! Aku mau jalan pulang," balasnya sambil melambaikan tangan.

"Butuh tumpangan, Rin?"

"Tidak, tidak ... pergi saja sudah!"

Klakson mobil berbunyi beberapa kali memberi kode kepada wanita berdada besar itu untuk bergegas. Ia pun meninggalkan Rini seorang diri, menjadi penghias malam yang makin sepi.

Tiiin! Tiiin!

Bunyi klakson mobil mengagetkan Rini. Ia mendongak. Penglihatannya mengarah ke sebuah mobil sedan mewah yang berhenti tak jauh darinya. Namun, seleranya sedang tidak ada hingga dia memutuskan untuk diam saja dalam duduknya. Klakson mobil berbunyi lagi beberapa kali. Ia tetap enggan beranjak.

Akhirnya, seseorang turun dari mobil itu. Perawakannya rapi, tetapi sepertinya ia bukan pemilik mobil itu, barangkali supir.

"Anu, Non, maaf ...." Wajahnya tersipu malu dan memerah melihat pakaian Rini yang begitu minim.

"Kenapa?"

"Em, majikan saya ingin Anda naik ke mobilnya. Berapa pun tarifnya, beliau akan bayar."

Rini tersenyum kecil sambil berujar, "Aku sedang tidak ingin bercinta dengan lelaki manapun, termasuk majikanmu."

"Tapi, anu ... itu, Non, majikan saya perempuan."

"Perempuan?"

"Iya, Non. Saya tidak bohong."

Rini berdiri. Tubuhnya yang semampai terlihat lebih menjulang dari si supir yang berbadan kecil itu. Tubuh Rini sempurna. Porsinya benar-benar pas. Putih, tinggi, montok, serasi dengan wajahnya yang oriental. Ketika Rini berjalan, seolah-olah angin berdesir mengikuti gerak-geriknya.

Pintu belakang terbuka. Rini melongok untuk melihat ke dalam, membayangkan seorang perempuan bertubuh gendut, berbibir tebal dengan rambut bergelombang berwarna pirang.

"Owwhh!" Rini tersentak hingga terbelalak. Ia tidak percaya dengan penglihatannya.

Di sana, di bangku belakang itu, duduk seorang perempuan muda yang sangat cantik. Rambutnya curly dilengkapi dengan helaian poni yang manis. Bibirnya tipis, merah muda dengan senyum yang begitu menawan. Lesung pipit di kedua pipinya begitu tajam. Gaun hitamnya yang sehalus sutra terlihat lembut dan pas pada kulitnya yang berkilau bagaikan porselen.

"Bagaimana mungkin perempuan ini memanggil pelacur? Untuk apa?" Benak Rini bertanya-tanya.

"Masuklah, berapa pun bayaran yang kauminta akan kubayar," ujar perempuan muda itu.

"Untuk siapa?" tanya Rini.

Perempuan cantik itu tersipu, tampak begitu anggun dan lembut.

"Saya yang mau," jawabnya pelan.

Rini tersenyum. Tak perlu disuruh dua kali, ia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di samping gadis itu. Dadanya mendadak berdebar-debar. Ini kali pertama ia di-booking oleh seorang perempuan.

TAMAT


Catatan:
"Perempuan di Dada Malam" karya Emma Engkani adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 9 - 15 Juli 2023.


Tentang Penulis:
Emma Engkani, nama pena dari perempuan berdarah Bugis yang sering dipanggil Noni. Penyuka puisi dan cerita pendek, aktif berkecimpung dalam berbagai grup literasi Facebook. Pernah terlibat dalam beberapa antologi puisi dan cerpen. Saat ini beralamat di Kota Soppeng, Sulawesi Selatan.
Bunga-Bunga Berguguran di Mataram karya Daniel Agus Maryanto

Perang, kekuasaan, kekayaan
Seperti unggun api dalam kegelapan
Dan orang bertebaran untuk mati tumpas di dalamnya.
— Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer

Mataram (Plered), 1668-1670

Tergetar hebat Sunan Amangkurat memandang gadis belia ketuturunan Jawa-Tionghoa, putri Ngabehi Mangunjaya (Ma Oen), yang belum genap berusia 13 tahun itu. Dari atas singgasananya yang megah, Sunan Amangkurat seakan tak berkedip memandang kejelitaan gadis belia yang atas perintahnya diizinkan untuk memandang wajah sang raja. Sudah tak terhitung jumlah selir yang dimilikinya. Namun, memandang dari ujung kepala sampai ke ujung kaki gadis yang masih bau kencur itu justru menumbuhkan getar yang aneh dan sensasi tersendiri baginya.

“Wirareja, jagalah anak perempuan ini di rumahmu. Ajari adat dan sopan santun istana, terlebih rawatlah kecantikannya. Kelak jika sudah tiba saatnya aku kehendaki, bawalah Rara Hoyi ke kedaton untuk menjadi selir kesayanganku,” perintah Sunan Amangkurat dengan perasaan puas dan segera menganugerahi Wirareja dengan banyak hadiah karena dipandang telah berhasil menjalankan perintah raja.

Keberadaan Rara Hoyi di Istana Mataram Plered sendiri tak lepas dari peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, ketika Sunan Amangkurat berduka karena selir yang amat dicintainya, Ratu Malang, meninggal dunia.

Ratu Malang sendiri dijadikan selir kesayangan Sunan Amangkurat dengan cara-cara yang tidak terpuji dan hanya mengagungkan kekuasaannya yang tak terlawankan. Saat istana mementaskan pagelaran wayang untuk menghibur para kawula, maka diundanglah seorang dalang kondang Mataram, Ki Dalang Panjang Mas. Dalam pegelaran wayang itu, Ratu Malang ikut menyertai suaminya. Pada saat itulah Sunan Amangkurat begitu terpesona dengan istri Ki Dalang Panjang Mas. Begitu terpikatnya sang Raja Mataram sehingga saat itu juga dia meminta Ki Dalang Panjang Mas untuk menyerahkan istrinya. Permintaan itu tentu ditolak dengan halus oleh dalang kondang Mataram, meskipun sang Penguasa Mataram itu menjanjikan banyak hadiah dan jabatan sebagai pengganti istrinya.

“Panjang Mas, aku menghendaki istrimu untuk tetap tinggal di istana ini. Sebagai imbalan, mintalah jabatan apa saja dan emas berlian melimpah di istana ini. Mintalah dan akan kukabulkan permintaanmu,” kata Sunan Amangkurat tanpa teding aling-aling dan yakin tak akan ada yang berani menentangnya.

“Beribu ampun, Kanjeng Sunan. Hamba sudah berjanji kepada almarhum orang tua Ratu Malang untuk selalu menjaganya seumur hidup hamba. Saat ini Ratu Malang sedang mengandung buah cinta kami berdua, Kanjeng,” jawab Ki Dalang Panjang Mas dengan tak hentinya bersembah.

Mendengar jawaban Ki Dalang Panjang Mas, wajah penguasa Mataram bagai dijilat api. Sungguh dia tak menduga ada orang yang berani menentang kehendaknya.

Sesaat dipandanginya sosok Ki Dalang Panjang Mas yang bersimpuh dengan wajahnya menyentuh lantai. Sementara di balik punggung suaminya, Ratu Malang tampak menggigil ketakutan seperti sekor tikus yang bersembunyi di balik meja menghindari sergapan kucing garong. Namun, melihat wajah Ratu Mas yang pucat pasi dalam impitan ketakutan itu justru mengobarkan nafsu birahi sang Penguasa Mataram.

“Baik, Ki Dalang Panjang Mas. Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan. Cepatlah pergi dari hadapanku sebelum keputusanku berubah!” perintah Sunan Amangkurat menahan gelora perasaan yang berkobar di dada.

Sesaat setelah Ki Dalang Panjang Mas dan istrinya meninggalkan istana Plered, Sunan Amangkurat segera memanggil dua orang hulubalang kepercayaannya.

“Nayatruna dan kau, Yudakarti, bawa pasukan yang kuat. Ki Dalang Panjang Mas bukan orang sembarangan. Penggal kepalanya dan bawa Ratu Malang ke istana. Cepat, susul mereka!” perintah sang Penguasa Mataram bagai kilat membelah langit malam.

***

Di tengah malam yang beku, kuda-kuda dipacu. Nayatruna dan Yudakarti memimpin 25 orang pilihan dari kesatuan prajurit pengawal raja. Mereka terus memburu dengan wajah membatu. Tepat di kaki Gunung Kelir, akhirnya para prajurit pemburu berhasil menyusul rombongan Ki Dalang Panjang Mas. Tanpa kata, tanpa suara, Nayatruna dan Yudakarti segera mengisyaratkan pasukannya untuk membabat habis rombongan Ki Dalang Panjang Mas. Sementara itu, Nayatruna dan Yudakarti langsung menerjang ke arah Ki Dalang Panjang Mas.

Pertempuran tak seimbang segera terjadi. Rombongan Ki Dalang Panjang Mas yang tidak semuanya berbekal ilmu kanuragan yang memadai telah berhasil ditumpas habis, sedangkan Ki Dalang Panjang Mas, meskipun berbekal ilmu kanuragan tinggi, telah tewas mengenaskan. Bergegas Nayatruna dan Yudakarti kembali ke istana raja dengan membawa tubuh Ratu Malang yang tergeletak tak sadarkan diri.

Pagi harinya, warga desa di sekitar Gunung Kelir dibuat geger dengan penemuan mayat Ki Dalang Panjang Mas dan beberapa orang pengikutnya itu. Namun, tak ada yang berani mempertanyakan ataupun berusaha mencari tahu sebab-sebab terjadinya pembunuhan itu. Semua warga desa—bukan hanya di sekitar Gunung Kelir, melainkan juga di seluruh wilayah Mataram—sudah mengetahuinya. Hanya pemilik kekuasaan yang sangat besar di Mataram yang sanggup melakukan kekejian itu.

Warga desa dengan penuh rasa hormat segera menguburkan jenazah Ki Dalang Panjang Mas dan para pengikutnya itu di Gunung Kelir. Dalam hati kecil para warga hanya bisa menyesali bahwasanya sang dalang dieksekusi mati pastilah sebab dia berani menentang kekuasaan sang Penguasa Mataram. Jangankan seorang dalang, panglima perang Mataram, Tumenggung Wiroguna yang berani menentang keinginan raja yang menginginkan istrinya juga dieksekusi mati.

Sementara itu, Ratu Malang ditempatkan di Istana Plered sebelah timur karena di istana barat sudah ditempati Permaisuri Ratu Kulon. Berbagai macam hadiah segera dikirimkan ke istana timur untuk Ratu Wetan—Kanjeng Ratu Malang—agar bisa segera melupakan suaminya. Namun, Ratu Malang ternyata seorang istri yang teramat setia hingga rasa cintanya tidak bisa dibeli. Kehilangan suami yang amat dicintai dengan cara dibantai di depan matanya telah menjadi trauma yang menggerogoti jiwa. Keinginan hidup Ratu Malang pun padam sehingga pada tahun 1665, Ratu Malang meninggal menyusul Ki Dalang Panjang Mas yang dicinta.

Kematian Ratu Malang ternyata berbuntut panjang. Raja Amangkurat menjadi amat murka. Penguasa Mataram itu menuduh 43 dayang-dayang dan selir raja di Kraton Wetan telah bersengkokol meracuni Ratu Malang. Akibatnya sungguh tak terperikan bagi ke 43 dayang-dayang dan selir raja itu. Semua dieksekusi mati dengan cara dikurung dalam kamar dan tidak diberi makan apa pun sampai mati.

Mataram berduka berkubang air mata. Para kawula tak tahu lagi mengadu kepada siapa dalam empasan duka nestapa. Siapa yang berani menentang dan merobohkan tembok kekuasaan sang raja? Sunan Amangkurat adalah “tembok kekuasaan” dan bukan sekadar di balik “meja kekuasaan” yang sekali tendang hancur. Pangeran Alit dengan dukungan lebih dari lima ribu ulama salah dalam memandang dan menilai kekuatan kekuasaan Sunan Amangkurat yang dianggapnya tak lebih dari sebuah meja yang sekali pukul bakal hancur.

Kesalahan memandang kekuasaan sang Penguasa Mataram, akhirnya harus ditebus sangat mahal oleh Pangeran Alit dan tak kurang dari lima rabu kaum ulama meregang nyawa dalam waktu tak lebih dari satu jam di alun-alun Plered. Mataram pun banjir darah para ulama tak berdosa dan menjadi sejarah hitam di sepanjang sejarah Mataram.

***

Sang Waktu terus berputar. Tanpa terasa, Rara Hoyi yang dititipkan Ngabehi Wirareja sudah beranjak remaja dengan kecantikan yang tiada cela. Suatu ketika Raden Mas Rahmat atau dikenal dengan nama Adipati Anom, putra mahkota Mataram, bertandang ke Wirareja. Adipati Anom yang melihat Rara Hoyi saat sedang membatik langsung terpikat hatinya. Jantungnya berdegup kencang. Saat itu pula dia jatuh cinta dalam pandangan pertama. Kepada Wirareja, dia menanyakan siapa jati diri wanita yang telah mengguncangkan hatinya itu.

“Gusti Anom, gadis itu bernama Rara Hoyi. Dia adalah simpanan ayahanda sendiri, dititipkan di Wirareja ini menunggu sampai saatnya tiba diperintahkan Kanjeng Sunan untuk diantarkan ke kedaton,” jawab Wirareja dengan penuh rasa khawatir.

Betapa terkejutnya Adipati Anom mendengar jawaban Ngabehi Wirareja. Tak ada harapan sama sekali untuk bisa mendapatkan cinta Rara Hoyi yang telah begitu menawan hatinya. Namun, sang Putra Mahkota tak bisa melupakan cinta pada pandangan pertamanya begitu saja. Tak dapat menahan gundah hatinya, sang Putra Mahkota pulang dengan memacu kudanya sangat kencang. Sesampainya di rumah kepangeranan, dia langsung tidur berselimut dengan tubuh menggigil menahan rasa marah sekaligus ketakutan.

Para abdi kepangeranan mengira Adipati Anom sedang sakit keras. Pangeran Pekik, sang Kakek, rupanya sangat bijaksana dan segera mengetahui bahwasanya cucunya sedang dilanda asmara. Tak ingin melihat penderitaan cucu terkasihnya, suatu ketika Pangeran Pekik bersama istrinya, Nyi Pandan, mengunjungi rumah Wirareja dengan maksud meminang Rara Hoyi. Namun, dengan penuh ketakutan Wirareja menolak pinangan itu karena membayangkan betapa berat hukuman yang akan diterimanya bila ia sampai tidak bisa menjaga amanat sang raja dalam menjaga Rara Hoyi.

Pangeran Pekik dan istrinya yang begitu sayang kepada cucunya terus berusaha mendesak Ngabehi Wirareja dan beralasan Putra Mahkota bisa mati bila tidak mendapatkan Rara Hoyi. Wirareja pun terjebak dalam dilema, antara takut hukuman yang akan diterima dan memikirkan pula sang Putra Mahkota yang tampak sekali sangat tergila-gila kepada Rara Hoyi.

Akhirnya, setelah Pangeran Pekik menyatakan akan bertanggung jawab terhadap kemarahan Raja Mataram, dan juga melihat hadiah sepasang cincin berharga mahal dan sepasang keris—Nyi Pandan pun memberikan emas dan pakaian bagus-bagus untuk istrinya—Wirareja menyerahkan Rara Hoyi untuk dibawa pulang ke Surabaya dan dikawinkan dengan Adipati Anom.

Tibalah waktu Sunan Amangkurat datang ke Wirareja untuk mengambil Rara Hoyi. Betapa kagetnya Raja Mataram itu saat tahu calon selir kesayangannya telah diambil Pangeran Pekik dan dinikahkan dengan Adipati Anom. Walaupun Adipati Anom adalah putranya sendiri, hal tersebut tidak meyurutkan kemarahannya. Akibatnya sungguh tak terperikan. Ngabehi Wirareja dibuang ke Ponorogo bersama anak dan istrinya. Namun, mereka semua pada akhirnya dieksekusi mati di tengah perjalanan.

Kemarahan Amangkurat belum mereda. Dia pun mendatangi Pangeran Pekik di Surabaya. Seluruh keluarganya berjumlah empat puluh orang tanpa belas kasih diperintahkannya pula untuk dihabisi. Tidak berhenti di situ, murka sang Raja Mataram belum selesai. Sang Putra Mahkota dan Rara Hoyi diseret ke hadapan raja. Hilang sudah cinta sang Raja Mataram kepada Rara Hoyi yang telah dinodai putranya sendiri.

Keris telanjang diserahkan kepada Putra Mahkota. Di hadapan sang Raja Mataram, dia harus berani memilih antara tetap menjadi Putra Mahkota atau Rara Hoyi. Memilih tahta artinya harus rela kehilangan cinta dan nyawa Rara Hoyi, sedangkan memilih Rara Hoyi berarti harus terusir dari bumi Mataram selamanya.

Menggigil keris di tangan sang Putra Mahkota. Dia tak sanggup memandang wajah Rara Hoyi. Sesaat ketegangan melanda. Rara Hoyi melihat bayangan kutukan di atap langit istana atas masa depan dirinya dan masa depan Mataram. Tak ingin tangan kekasihnya ternoda, dengan berani disongsongnya keris di tangan sang Putra Mahkota. Hanya terdengar jeritan lirih, sebelum segalanya berubah menjadi sunyi. Rara Hoyi telah mati. Namanya menambah panjang deretan bunga-bunga yang berguguran di Mataram.

TAMAT

Catatan:
"Bunga-Bunga Berguguran di Mataram" karya Daniel Agus Maryanto adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 9 - 15 Juli 2023.

KAKI TANGAN IBLIS

Hai, para terlaknat!
Dari kaum-kaum yang tersesat.
Citra kalian yang disusun hebat.
Berlagak cerdas, bicarakan hakikat.
Bangsat!

Bersiasat.
Bagai iblis berkostum malaikat.
Mencacati umat, membelokkan syariat.
Di setiap celah sempit menggeliat.
Dari yang kasat hingga bayang-bayang autokrat.

Bergerak kompak bagai sindikat
Jati diri ditutup tipu muslihat
Kausebar faham dengan begitu niat
Cuci otak dan cetak jutaan penjilat
Yang kan benarkan segala galat

Tobat!
Bertobatlah kalian sebelum terlambat
Tergulung ombak mahzurat
Tenggelam dalam lautan maksiat

Tobat!
Bertobatlah kalian sebelum terlambat
Hingga terbit mentari dari barat
Tersapu kiamat, tersiksa kelak di darulakhirat

26 Agustus 2022


PEREMPUAN AWAN

Dahulu kala ada sebuah kisah
Tentang ibu dan anak yang menangis gelisah
Tak kuasa membayangkan nasib rakyat yang hidup susah
Mereka salahkan pemerintah
Yang tega membuat rakyatnya terbelenggu resah

Sang ibu dan anak yang mengaku prorakyat
Angkat kaki dari tempat rapat bak seorang negarawan hebat
Tangisnya viral di media massa
Memancing simpati mereka yang ikut merasa
Hingga fanatik buta berkat aksinya bak pahlawan bangsa

Lain dulu lain sekarang
Harga-harga naik bukan kepalang
Tangis yang dulu terburai dengan derasnya seakan-akan telah menghilang
Berbagai pernyataan kontroversial
Berargumen bebal dengan kadar kebodohan maksimal

Dulu bersikap seolah-olah peduli
Sekarang banyak bicara tetapi membuat sakit hati
Tampil di depan publik dengan gaya narsistik
Bertanya apa jadinya negara tanpa dirinya kelak
Sang begundal pun tergelak terbahak-bahak

13 September 2022


KEAJAIBAN DALAM SAKU

Percaya tidak percaya
Bukan sulap bukan sihir
Diungkap dengan kata-kata
Membuat rakyat berdebat kusir

Katanya tak usah khawatir
Utang negara takkan buat sengsara
Indonesia kita ini tajir melintir
Kekayaannya banyak tak terkira

Gestur tubuhnya begitu meyakinkan
Nada bicaranya lugas tanpa beban
Tangannya mengarah pada saku kemeja
Katanya di sana tersimpan solusi untuk segala

Pendukungnya serempak bertepuk tangan
Tak peduli jikalau pun hanya dicekoki harapan
Oposisi yang kritis melempar pandangan skeptis
Sadar akan premis penarik simpati paling praktis

Keajaiban dalam saku
Jumlahnya belasan ribu
Trilyunan bukan milyaran
Entah benar atau hanya khayalan

16 September 2022


INSAN BERCANGKANG DUSTA

Mari sambut dengan gegap gempita
Para insan bercangkang dusta
Menjejak langkah dengan pasti
Tersenyum lebar penuh percaya diri

Sejatinya mereka pengusaha hebat
Menjaja harapan dan mimpi-mimpi sesat
Semua dikecap atas nama rakyat
Berbagi santunan berbagi nikmat sesaat

Apalah guna kejujuran jika dusta terlihat lebih meyakinkan
Apalah arti kejujuran jika dusta terbukti lebih menghasilkan
Semua kembali pada urusan perut
Tak peduli nantinya negeri 'kan carut marut

27 Maret 2023


PENGERAT

Mereka benalu berdasi
Menceracam tanah pertiwi
Berbekal untaian diksi nan manis
Bakal narasi paling bombastis

"Ini tanah kelahiran kita!"
"Mari bangun kembangkan bersama!"

Bagai predator yang berorasi
Cuci otak mangsa agar berserah diri
Liur menyembur membabi buta
Memandikan pikiran awam berat kepala

"Percayakan kepada kami!"
"Kami putra-putri negeri!"

Bedebah busuk yang tak hentinya mengeruk
Menerabas birokrasi dengan duit setruk
Tak lebih dari sekelompok bandit pengerat
Mencari substansi menjerat rakyat

"Indonesia pasti makmur!"
"Semua rencana kami terukur!"

Omong kosong!
Persetan dengan mereka yang merongrong
Buka mata, buka pikiran
Jangan lagi mudah disesatkan

14 April 2023


Tentang Penulis:
Glen Tripollo, seorang ayah purnawaktu yang menghabiskan waktu luangnya untuk aktif berliterasi, seperti menulis fiksi, esai, kritik film, dan juga puisi. Selain pekerjaannya sebagai penyunting naskah lepas dan desainer grafis, juga terlibat sebagai pendiri dan konseptor Komunitas Saung Karsa, sebuah komunitas penulis yang mengusung konsep aktif berliterasi lewat berbagai kegiatan rutin, seperti 30 Hari Belajar Berpuisi dan Tiga Pilar Kata.
Cerpen Janji karya Ninava Fadel

Mentari belum juga meninggi saat kamu memasuki halaman cafe ini. Seorang pria dengan kemeja putih, celana panjang hitam, dan apron hitam mendekatimu. Pria itu berbicara sopan padamu, beberapa kali dia menangkupkan kedua tangan di depan dada. Tak berbeda dengan kamu, beberapa kali kamu pun menangkupkan kedua tangan dengan tatapan memohon. Dia tampak berpikir sejenak, lalu dia menggerakkan kedua tangannya seakan memberi tanda untukmu menunggu. Dengan tergesa dia masuk ke dalam gedung berarsitektur vintage tersebut.

Tak berselang lama, pria dengan apron hitam itu keluar mendekatimu diikuti seorang wanita muda. Wanita dengan rambut hitam sebahu itu, tersenyum ramah padamu.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu seraya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Maaf, saya tahu cafe ini belum buka, tapi izinkan saya duduk di kursi ujung sana dari sekarang," jawabmu seraya menunjuk satu meja bundar yang berada di bawah pohon tabebuya berbunga kuning.

Pandangan wanita itu mengikuti arah telunjukmu. Dia diam sesaat, lalu kembali menatapmu.

"Maaf, jika tidak berkeberatan, boleh tahu alasannya?"

Kamu menghela napas.

"Maaf, maaf, bukan maksud saya bersikap tidak sopan." Wanita itu menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Cafe ini belum waktunya buka, jika saya mengizinkan anda duduk di sini sebelum waktunya, berarti saya melanggar peraturan. Namun, Jika saya tahu alasannya mungkin bisa menjadi pertimbangan saya," lanjutnya menjelaskan.

Kamu mengangguk mendengar penjelasan wanita itu.

"Begini–." Kamu mulai bercerita. "Dua tahun lalu, saya bertemu seorang gadis di cafe ini, tepatnya di bangku Itu." Matamu menunjuk bangku di bawah pohon tabebuya berbunga kuning."

***

Kamu mengedarkan pandangan ke setiap sudut cafe, tak satu pun kursi kosong yang kamu temukan. Malam minggu, hal yang mustahil mendapatkan tempat duduk di cafe ini. Kamu membalikkan badan, melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Sesaat langkahmu terhenti, kembali kamu membalikkan badan. Tatapanmu berhenti pada satu sudut taman cafe. Di bawah sebuah pohon tabebuya, seorang gadis duduk, tenggelam dalam buku bacaan.

Entah apa yang membuatmu tertarik hingga melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Langkahmu terhenti tepat di hadapan gadis itu. Sepertinya kamu menunggu gadis itu menyadari kehadiranmu, tapi nyatanya setelah beberapa saat, gadis itu tetap tenggelam dalam dunianya.

"Ehem." Kamu berdehem.

Gadis itu mengangkat wajahnya, lantas menatapmu dengan pandangan penuh tanya.

"Maaf, mengganggu. Boleh saya ikut duduk di sini? Semua kursi penuh, sedangkan meja ini–." Kamu menjeda ucapanmu.

"Hanya diisi satu mahkluk," timpal gadis itu seraya tersenyum ramah padamu.

Kamu tersenyum canggung mendengar ucapannya.

"Silakan." Gadis itu menunjuk kursi kosong di hadapannya. Kemudian dia kembali tenggelam dalam bacaannya.

Kamu pun duduk pada kursi kosong di hadapan gadis Itu. Sesaat kamu pun tenggelam dalam pekerjaanmu, hingga satu masa, kamu diam-diam memperhatikan gadis itu. Rambutnya yang hitam dibiarkannya tergerai, sebuah jepit rambut berbentuk buah apel menghiasi satu sisi rambutnya. Dan saat itu kamu menyadari sesuatu.

"Eh."

Gadis itu mendongak, menatapmu.

"Maaf, tapi saya baru sadar, sepertinya kamu pecinta buah ape, ya?"

Gadis itu tersenyum ramah memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Darimana datangnya simpulan itu?" tanya gadis berlesung pipi itu seraya menutup buku bacaanya, lalu meletakkannya di atas meja.

"Jepit rambut, casing ponsel, pun casing tablet. Tunggu, gantungan kunci, anting juga, dan pesananmu ini pai apel, serta teh apel, 'kan?"

Gadis dengan mata bening itu tertawa renyah.

"Pengamatan yang keren." Dia bertepuk tangan. "Kenalkan, namaku Elma, dalam Bahasa Turki, berarti buah apel." Dia mengulurkan tangannya.

"Wow!" Dengan takjub kamu menyambut uluran tangannya. "Rey."

Seketika, tak ada tirai di antara kalian. Obrolan mengalir dengan sendirinya, gelak tawa memenuhi sudut cafe, seakan kalian teman lama yang berjumpa kembali setelah sekian waktu berpisah. Bercerita tentang segala hal, termasuk alasan kecintaan Elma pada buah apel.

"Bukan hanya karena namaku yang memiliki arti apel, hingga aku menyukai segala hal yang berhubungan dengan apel. Pun, apel memiliki filosofi yang luar biasa untukku. Apel adalah lambang cinta. Kamu tahu? Kulit apel itu tipis dan rapuh, tapi buahnya sangat kuat. Begitu pun cinta, serapuh apa pun di luar, jika di hati cinta itu begitu kuat, maka tak akan ada satu pun hal yang mampu menghancurkannya," ujar Elma menjelaskan alasan kecintaannya pada apel.

Dan, pertemuan demi pertemuan kembali terjadi di antara kalian. Di tempat yang sama, sudut kanan cafe, di bawah pohon tabebuya yang terkadang dipenuhi bunga berwarna kuning, dan tak jarang hanya dipenuhi dedaunan hijau. Tak tertinggal, camilan berbahan dasar apel menjadi teman canda tawa kalian. Hingga, pada suatu senja, saat lembayung menguasai barat cakrawala, Elma membawa kabar yang membuatmu tertegun.

"Aku berangkat lusa. Ayah ingin aku segera menyelesaikan studiku." Elma menundukkan wajahnya.

Entah apa yang berkecamuk dalam benakmu. Kamu hanya diam seraya mengaduk-aduk gelas berisi es capucino.

Suasana terasa kelabu. Kalian diam tenggelam dalam rasa masing-masing.

"Baiklah." Kamu memecah keheningan. "Semoga kamu sukses."

Mata bening itu berkaca-kaca menatapmu.

"Terima kasih," jawab Elma lirih. "Maaf, kita juga tidak bisa berkomunikasi melalui media apa pun lagi, Ayah ingin aku konsentrasi penuh pada studiku."

"Iya, aku paham." Kamu mengangguk pelan.

"Aku tak bisa berjanji, tapi jika takdir memilih kita, kita pasti bisa bertemu lagi. Di sini, di bawah pohon tabebuya tentunya saat dia berbunga, dan pastinya dengan sekeranjang apel sebagai buah tangan. Mungkin tahun depan, mungkin dua tahun yang akan datang, tentunya di waktu yang tepat."

***

"Kisah yang menyedihkan," ucap wanita pemilik cafe itu usai mendengar kisahmu.

Kamu tersenyum. "Begitulah, bulan April kemarin, saya juga datang ke sini, tapi rupanya takdir belum memilih kami. Bulan September ini, saya coba peruntungan saya. Jika kali ini takdir memilih kami, bisakah saya meminta bantuanmu?"

"Apa?"

"Pie apel spesial untuk Elma dan sekeranjang apel."

Wanita pemilik cafe itu tersenyum dan mengangguk. Lantas dia pergi meninggalkanmu. Sedangkan kamu, duduk menyandarkan punggung pada sandaran kursi, menatap lurus pada gerbang masuk cafe.

Mentari terus beranjak, hiruk pikuk mulai mewarnai cafe. Cafe vintage dengan menu andalan segala hidangan berbahan dasar apel ini, sangat hidup, pengunjung datang silih berganti. Sayang, jangankan sosok Elma, siluetnya pun belum juga tampak.

Hingga, saat semburat jingga malu-malu menguasai cakrawala. Satu siluet menarik perhatianmu. Perlahan siluet tersebut mendekatimu dan menjelma satu wujud yang kamu tunggu. Elma.

Kala takdir memilih, maka janji menjadi nyata. Senyum mengembang di bibir kalian. Secerah apel merah.


TAMAT


Catatan:
"Janji" karya Niar Kurnia Eka Gunawati atau lebih dikenal dengan nama pena Ninava Fadel adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 2 - 8 Juli 2023.

Tentang Penulis:
Ninava Fadel, dikenal juga dengan Niar Kurnia Eka Gunawati.

"Aduh, sakitnya." Seekor buaya merintih di pinggir sungai.

Seekor anak gajah yang kebetulan lewat mendengar suara rintihan sang buaya dengan rasa iba. Perlahan-lahan dia mendatangi buaya dewasa itu.

"Aduuuh, sakit!" Lagi-lagi buaya itu merintih.

"Hai, Pak Buaya. Ada apakah gerangan denganmu?" Dia bertanya dengan wajah penasaran. "Apa ada yang sakit?"

"Ini ... gigiku." Sang buaya akhirnya menjawab juga.

"Ooo, jika Bapak tidak keberatan, aku ada obat sakit gigi," ujar anak gajah tulus.

"Benarkah?"

Buaya merasa senang sebab sudah tiga hari dia menahan rasa nyeri. Tidak ada seekor pun hewan yang mau membantunya. Meskipun ada yang datang melihat, mereka hanya sekadar lewat dan melirik lalu pergi begitu saja. Mendengar tawaran anak gajah, Pak Buaya tersenyum semringah.

"Benarkah ada obat seperti itu? Kalau ada cepat berikan padaku!" sahut buaya senang.

"Tentu saja. Ramuan ayahku terbukti ampuh mengobati sakit gigi seperti yang engkau rasakan. Tunggulah sejenak, aku akan membawakannya untuk Bapak."

Dengan senang hati, gajah kecil itu berlalu hendak mengambil obat yang dimaksud. Sementara sang buaya harap-harap cemas menunggu kehadiran anak gajah bersama dengan obat yang dijanjikannya.

"Ah, lama sekali dia mengambil obat. Jangan-jangan dia hendak mengelabuiku," gumam buaya sambil menahan sakitnya.

Dari balik semak, Pak Buaya mengamati keadaan sekitar. Barangkali yang ditunggunya telah datang.

"Aduh, sakit ...," erang buaya tak tahan.

Tak berapa lama ia menunggu, dirasakan tanah di sekitarnya bergetar. Hal itu disebabkan pijakan kaki anak gajah dengan larinya yang kencang. Melihat anak gajah telah datang, senanglah hati si buaya.

"Lama sekali kau mengambil obat. Aku sudah tak tahan lagi." Pak Buaya berteriak pada gajah kecil di hadapannya.

"Sabarlah, Pak Buaya. Beruntung ayahku mau memberikan ramuan ini untukmu," sahut si anak gajah kemudian.

"Ah, berisik! Cepat berikan padaku!" Buaya itu mulai terlihat watak aslinya.

Anak gajah yang baik hati itu pun dengan cekatan mengambil botol berisi ramuan ajaib yang dikalungkan di lehernya lalu memberikannya pada buaya.

"Apa ini benar obat sakit gigi? Kau tak berusaha meracuniku, kan?" tanya buaya dengan mimik curiga.

"Tenanglah, Pak. Obat ini aman. Ayahku membuatnya dari apel-apel terbaik yang ada di hutan ini," jelas anak gajah bangga.

Tanpa menunggu lama, buaya menegak sari buah apel itu tanpa sisa sehingga sakit yang telah berhari-hari dia rasakan sembuh seketika.

"Kau benar, Nak, ramuan ayahmu membuat gigiku terasa nyaman sekarang. Sebagai balas jasa atas pertolonganmu, aku akan memberimu imbalan," celetuk Pak Buaya pada si anak gajah.

"Tak perlu repot-repot, Pak. Aku ikhlas membantumu," jawabnya kemudian.

Namun, buaya yang telah menyusun siasat busuk itu tetap berusaha membujuk anak gajah untuk mendekat ke arahnya. Keramahan yang sedari tadi ditampakkan olehnya hanya sekadar cara untuk meraih simpati si anak gajah.

"Jangan sungkan, aku ingin sekali memberimu hadiah, kemarilah!" perintahnya lagi.

Gajah kecil itu pun mendekat tanpa menaruh curiga.

Dengan cekatan buaya menerkam anak gajah tanpa ampun. Dibuka mulutnya yang lebar dan mencengkeram dengan kuat si anak gajah.

Anak gajah itu pun menderum seraya memanggil ayahnya, meminta pertolongan.

"Ayah, tolong!" teriak anak gajah malang.

'Anaknya saja sudah sebesar ini. Jika ayahnya yang aku makan, pasti akan sangat mengenyangkan,' batin buaya tamak.

Belum sempat buaya menyantap anak gajah, tanah di sekelilingnya kembali bergetar. Kali ini getaran yang dirasakan jauh lebih kencang. Dalam hitungan detik, badannya terasa berat karena diinjak ayah gajah.

Buaya berteriak memohon ampun. Namun, ayah gajah yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan perlakuan sang buaya pada anaknya menjadi sangat geram dan ingin memberi pelajaran.

"Ampun, lepaskan aku! Aku janji tidak akan menyakiti anakmu," pekik sang buaya panik memohon ampun.

"Memaafkan buaya tak tahu terima kasih sepertimu? Jangan harap!" gertak ayah gajah masih disertai amarah.

"Sudah, Ayah, lepaskan Pak Buaya," pinta si anak gajah.

Namun, gajah dewasa itu tetap menginjak dan menendang buaya dengan murka. Buaya tamak itu akhirnya mati sebab tidak sanggup menahan serangan dari gajah yang berukuran dua kali tubuhnya.

"Kau masih terlalu kecil, Nak. Nanti akan banyak kamu temui berbagai sifat hewan lain. Hendaklah mawas diri dari segala tipu daya dan muslihat."

Gajah kecil pun mengekor di belakang ayahnya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu.


TAMAT


Catatan:
"Ketamakan Membinasakan" karya Nona Typo adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 2 - 8 Juli 2023.

Tentang Penulis:
Nona Typo, seorang wanita Aquarius yang gemar menulis, meskipun belum memahami kaidah penulisan yang benar secara sempurna. Sesuai namanya, sering tanpa sengaja melakukan tipo. Penikmat kopi dan hujan ini adalah sosok penyendiri. Itulah sebabnya isi karya tulisnya tidak jauh dari kisah pilu. Perempuan kelahiran Yogyakarta ini kini tinggal di kota dingin Malang.
Tiga Pilar Kata, Komunitas Saung Karsa

Satu bulan berlalu sejak Saung Karsa diresmikan. Bersamaan pula dengan berakhirnya kegiatan 30 Hari Belajar Berpuisi di sepanjang Juni 2023. Namun, sesuai dengan slogan kami: Bergerak menginspirasi, berkarya sepenuh hati, Saung Karsa tidak akan berhenti membuat gerakan aktif berliterasi di jagat maya ini.


Dengan memanfaatkan beberapa media sosial, seperti weblog, Facebook, dan Opinia, Saung Karsa mempersembahkan kegiatan baru yang diberi nama Tiga Pilar Kata, yaitu rutinitas menulis cerpen mingguan bersama Saung Karsa. Disebut rutinitas karena rencananya kegiatan ini akan selalu hadir secara rutin setiap minggu guna mendorong para warga Saung Karsa untuk selalu aktif menelurkan karya dan membangun kebiasaan positif.


———

FYI: Sedikit informasi bahwa Saung Karsa kini telah memiliki weblog resmi di alamat situs https://saungkarsa.com. Meskipun saat ini masih ada beberapa hal terkait tampilan dan konten yang harus diperbaharui, weblog tersebut telah resmi dibuka dan bisa diakses oleh siapa saja. Kami akan secara aktif memanfaatkannya di setiap kegiatan Saung Karsa. Jadi, nantikan konten-konten serunya, ya!

———


Tiga Pilar Kata. Sesuai namanya, rutinitas ini memiliki satu aturan yang tidak dapat ditawar, yakni penulis wajib menggunakan tiga kata yang dipilih secara acak oleh admin setiap minggunya. Ketiga kata acak tersebut sedapat mungkin dimanfaatkan sebagai pondasi dari penceritaan sebuah cerpen, minimal tidak menjadikan kata-kata tersebut sekadar menumpang lewat di dalam narasi cerita.


Apakah teman-teman tertarik untuk mencobanya? Yuk, simak syarat dan ketentuannya berikut ini. Harap dibaca dan diikuti setiap langkahnya dengan perlahan sambil bersenang-senang.


———

Syarat & Ketentuan Peserta


1. Pastikan kamu sudah memiliki akun Opinia. Jika belum, kamu bisa mengunduh aplikasinya di Google Playstore atau mendaftarkan akun langsung lewat versi browser di https://opinia.id. Kemudian follow akun Glen Tripollo agar tidak ketinggalan informasi.


2. Like dan follow laman resmi Saung Karsa di Facebook (https://web.facebook.com/saungkarsa) dan akun resmi Saung Karsa di Instagram (https://www.instagram.com/saungkarsa).


3. Jangan lupa bagikan informasi ini ke media sosial yang kamu miliki agar jangkauan penyebarannya makin luas sehingga diketahui oleh banyak orang. Ajak temanmu sebanyak-banyaknya.


4. Kunjungi weblog Saung Karsa (https://saungkarsa.com/p/pendaftaran-warga-baru.html) dan lengkapi formulir pendaftarannya.


5. Setelah admin melakukan verifikasi kelengkapan administrasi, kamu akan diundang masuk ke dalam Komunitas Saung Karsa dan mendapatkan status warga resmi.


———


Tidak ada batasan waktu untuk melengkapi syarat dan ketentuan peserta karena gerbang penerimaan peserta baru (kemudian disebut warga baru Saung Karsa) akan selalu terbuka lebar bagi siapa saja.


Jika sudah resmi menjadi warga baru Saung Karsa maka langkah selanjutnya adalah mempelajari aturan main Tiga Pilar Kata yang secara rutin dibagikan setiap minggu lengkap dengan tiga kata acak yang akan menjadi tantangannya.


Berikut ini adalah syarat dan ketentuan cerpen yang diikutsertakan rutinitas Tiga Pilar Kata.


———

Syarat & Ketentuan Umum Cerpen


1. Mengandung tiga kata yang dijadikan tantangan di minggu berjalan yang dimanfaatkan semaksimal mungkin, bukan sekadar kata menumpang lewat.


2. Genre cerpen bebas, tapi dilarang keras mengandung unsur-unsur yang kelewat sensitif, seperti SARA tanpa tujuan jelas dan pornografi secara mutlak.


3. Panjang cerpen antara 3.400–8.800 karakter termasuk spasi atau dalam rentang aman 800–1.200 kata.


4. Upayakan ditulis dengan teknis penulisan yang baik dan benar sesuai EYD.


5. Sebagaimana sebuah karya yang disebut sebagai cerpen, pastikan ceritanya benar-benar tamat.

———


Kira-kira itulah syarat dan ketentuan umum cerpen. Perihal teknis pengirimannya akan diinformasikan kemudian oleh admin di Facebook secara rutin setiap minggunya.


Oh, ya, kegiatan ini dibuat sebagai upaya melatih diri untuk disiplin dan mengembangkan diri dengan cara aktif berkarya sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Jadi, jangan mengharapkan hadiah berupa materi sebagai bentuk timbal baliknya ya.


Sebagai gantinya, rutinitas ini akan memberikan banyak sekali pelajaran terkait penulisan dan pengalaman yang tak ternilai. Tidak percaya? Kamu bisa tanyakan sendiri kepada para warga Saung Karsa loh.


Jadi, tunggu apa lagi? Jika kamu berminat untuk ikut serta ataupun sejalan dengan slogan Saung Karsa, daftarkan diri kamu sekarang juga. 

Beranda

Sekapur Sirih


Jadilah bagian dari Komunitas Saung Karsa. Dengan mengusung konsep aktif berliterasi melalui berbagai kegiatan menulis secara rutin diselingi dengan ragam diskusi ilmu dan kelas menulis, diharapkan Komunitas Saung Karsa dapat menjadi wadah terbaik bagi para penulis untuk belajar, berkembang, dan berkarya.

Tulisan Populer

  • Puisi-Puisi Karya Glen Tripollo
  • Ketamakan Membinasakan
  • Tiga Pilar Kata: Tiga Kata, Satu Cerita
  • Bunga-Bunga Berguguran di Mataram
  • Perempuan di Dada Malam

Advertisement

Warga Saung Karsa

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

Populer Sepanjang Masa

  • Puisi-Puisi Karya Glen Tripollo
  • Bunga-Bunga Berguguran di Mataram
  • Tiga Pilar Kata: Tiga Kata, Satu Cerita
  • Ketamakan Membinasakan
  • Perempuan di Dada Malam

Advertisement

Copyright © 2023 Saung Karsa. Created by OddThemes