Saban Jumat Legi, Yu Basirah selalu memasak semua hidangan yang terbuat dari ikan lele. Ada lele goreng biasa, bothok lele, lele bakar, sampai penyetan lele lalap kemangi ia hidangkan satu meja makan penuh, padahal di rumahnya hanya ada ia seorang diri. Yu Basirah melakukan itu tentu saja atas sebuah sebab. Ia meyakini apa yang diutarakan Mbah Jumadil, kalau aroma masakannya akan dibawa angin ke tempat Basuki berada. Dari situlah akan tumbuh keinginan dalam diri Basuki untuk pulang. Yu Basirah telah melakukan ritual menyiapkan makanan kesukaan Basuki sejak empat tahun terakhir atas perintah Mbah Jumadil. Menurut Mbah Jumadil—orang pintar di desa ini—Basuki pasti pulang jika Yu Basirah mau melakukan apa yang diperintahnya secara rutin pun tidak banyak tanya.

Yu Basirah memasak aneka olahan ikan lele itu tak sembarangan, ada tata caranya. Mbah Jumadil memberikan berbagai syarat yang harus ia penuhi. Salah satunya harus menahan segala nafsu, termasuk makan dan minum. Ia tak boleh makan dan minum sebelum langit Jumat Legi berubah gelap. Syarat kedua, ia harus yakin pada Mbah Jumadil, tak boleh sampai membatin ini itu ketika Mbah Jumadil menyuruhnya begini dan begitu. Syarat berikutnya, ia tak boleh lewatkan satu Jumat Legi pun untuk tidak melakukan ritual, dan yang terakhir tentu saja ia harus menguasai mantra yang Mbah Jumadil berikan. Yu Basirah menyanggupi. Mungkin saja bagi seorang ibu yang sedang kangen, apa saja akan dilakukan agar anaknya segera pulang.

Aku terkadang iba melihatnya. Sebagai buruh tani di sawah milik Yu Basirah, aku menyaksikan sendiri bila Yu Basirah tak pernah mengistirahatkan diri untuk tidak bekerja dengan para buruh di sawahnya sendiri. Sesekali aku menerka, mungkin hanya dengan kesibukan, rasa kangen pada Basuki bisa sedikit mereda. Ia sempat bilang kalau ia akan membeli lahan kosong di dekat sawahnya untuk bakal rumah Basuki ketika ia pulang kelak dan membawa istri. Sawah itu juga akan ia wariskan kepada Basuki agar nanti hidup Basuki terjamin, meski hanya tinggal di desa. Suatu siang, aku membuka rantang di dekatnya. Ia sedang membuka pecel pelangan yang tampaknya ia beli sejak pagi.

“Lha, dulu apa Basuki tidak bilang berapa lama dia pergi?” Aku membuka obrolan.

“Bilang. Dia akan pulang secepatnya.”

Telah dua windu Basuki meninggalkan desa. Aku ingat, dulu sewaktu akan berangkat merantau, ia mencium tanganku saat aku dan tetangga lainnya mengantarkan kepergiannya. Saat itu, ia gagah dan dijemput taksi. Basirah bilang, Basuki ingin mengubah nasib di luar negeri. Ia selalu berkirim sejumlah uang dan warta setiap bulannya. Sebagian lagi uang itu dikumpulkannya. Setelah uangnya terkumpul, putra semata wayangnya itu berjanji akan pulang. Akan tetapi, kiriman uang itu mandek sejak satu dasawarsa belakangan, juga kabar-kabar soal kondisi Basuki di sana. Tak heran, Basirah kini makin kurus, mungkin rindu pada sang putra telah menggerogoti daging tubuhnya.

“Lha, semua ritual yang Yu Basirah lakukan itu apa belum membuahkan hasil? Minimal ada yang memberi kabar soal Basuki, begitu.”

“Mbah Jumadil bilang, sabar. Pokoknya aku lakukan saja.”

“Tapi kan, Yu, kalau misal tidak membuahkan hasil, Yu Basirah bisa mencari jalan keluar lain.”

“Sudahlah, jangan membuatku ragu dengan ritualku ini. Nanti japa mantranya tidak manjur lagi,” tegasnya kepadaku. Aku kicep. Tak ingin menyahut sama sekali. Takut Yu Basirah makin marah karena aku bertanya yang tidak seharusnya kutanyakan.

Pagi-pagi pada Jumat Legi, setelah ia menenteng belanjaan penuh di tas anyam miliknya dan masuk rumah, selalu kudengar Yu Basirah berbincang-bincang. Pernah sekali aku mengintip apa yang dilakukan janda itu. Ternyata yang kulihat juga bagian dari ritual memanggil putranya. Beberapa kali nama Basuki disebut saat ia sedang berbicara di atas tempayan. Selesai berbicara dengan tempayan yang entah apa isinya, ia lantas memasak segala macam olahan lele. Ketika masakan itu matang, aku lantas menghirup bau harum jenang. Rupanya, Yu Basirah juga membuat dua macam jenang yang ia bilang namanya jenang pancawarna dan jenang sengkala. Pernah sekali aku diberinya beberapa bungkus jenang dibuntal daun pisang. Katanya ia kelebihan menakar beras dan jenang itu jadi melimpah ruah. Sebenarnya aku tidak mengerti, di zaman yang semodern ini, Yu Basirah tetap menganut ritual seperti ini.

Pernah pula kutanyakan kepadanya soal kemujaraban berbicara pada tempayan dan membuat dua macam jenang itu, tapi jawabnya ketus. Aku jadi sadar bahwa setiap orang berhak menentukan pandangan, dan memang benar kasih ibu tak pernah bisa ditukar dengan apa pun. Kerinduan seorang ibu akan ditebus dengan setiap cara.

Melihat tingkah laku Yu Basirah, lama-lama diri ini turut kepikiran Basuki. Kalau saja ia seorang penyair, ia pasti akan seperti D. Zawawi Imron atau Kiai Mustafa Bisri yang membuat sebuah puisi untuk ibunya. Basuki akan membuatnya di tanah rantau sana. Namun, apa Basuki baik-baik saja? Kadang aku berpikir sampai sana. Aku memang belum diberi amanah Yang Kuasa untuk mengeluarkan anak dari rahimku, tapi melihat Yu Basirah, aku membayangkan cerita soal rasa sakit seorang perempuan yang melahirkan itu, kini pasti sedang menderanya. Setiap hari.

***

 

seimpit keheningan memagut ragaku

ketika kabarmu kini makin entah

apa kau tak rindu lele lalap kemangi di balik tudung saji?

Akankah kau tak rindu memuluk nasi dari wakulku seraya mengaduh;

                                          —Nak, Bu ... Nak, Bu ... Nak—

 

Le,

benar, hujan di sana asam?

di sini aku berpesan pada hujan, sampaikan air mataku,

yang kau usap kala mengiris bawang

di dapur dan kau di pangkuan.

 

Tiga puluh dua musim menumbuhkan gelebah

Kapankah kau pulang dan menebang

Rindu yang rindang?

 

Le,

Kini aku nyaris renta

Tak akan sanggup menimangmu ketika kau kembali dari kelana

kelak jika kau tinggalkan rimba yang membuatmu lupa

mungkin saja garbaku telah ditelan buntala

Yang hendak kau ketahui Le,

Surga di kakiku telah sejajar dengan langkahmu,

pulanglah, meskipun kelak waktu sudah menyelimutiku dengan tanah merah

 

Kututup buku harian. Puisi ini belum kupasangi judul. Sebagai buruh tani desa, membuat puisi hanyalah pengalih waktu bosan karena malam bagi buruh tani adalah waktu terbaik untuk merebahkan pinggang yang bungkuk seharian. Namun, puisi kali ini kubuat tak semata menghalau kebosanan, melainkan sebentuk keibaanku kepada Yu Basirah. Aku jadi merasakan jika saja aku yang berada di posisi Yu Basirah, berapa bait saja puisi yang sudah kulahirkan dari setiap persetubuhanku dengan pena di atas kertas.

Cahaya kemerahan mulai menerobos masuk jendela, aku menghampirinya. Saat hendak mengunci jendela, kudengar Yu Basirah meraung. Nama Basuki disebut-sebutnya. Beberapa masjid sedang mendendangkan azan, aku nekat keluar rumah, meski sebenarnya ini pantangan buatku untuk keluar ketika azan masih dikumandangkan. Bukan apa-apa, aku hanya memercayai nasihat almarhumah Biyung.

Tiba di beranda rumah Yu Basirah, aku terkejut melihat Yu Basirah memeluk dan menciumi kursi. Menganggapnya sebagai Basuki. Buru-buru aku berteriak meminta tolong. Beberapa orang yang hendak pergi ke masjid berbelok arah ke rumah Yu Basirah. Aku dikepung pertanyaan: ada apa, apa yang terjadi, sementara aku sendiri juga tak tahu pasti. Aku hanya bilang, Yu Basirah merangkul dan menangisi kursi. Di sela tangisnya ia menyebut nama Basuki.

Beberapa orang yang datang bingung harus apa. Namun, Yu Basirah berhenti meraung ketika menyadari kehadiran orang-orang di rumahnya.

“Hei, kalian pasti ingin melihat Basuki, kan? Dia baru saja pulang!”

Aku dan orang-orang keheranan dengan sikap Yu Basirah. Perempuan itu meyakinkan kami satu per satu bahwa Basuki sudah pulang. Ia masih gagah seperti dulu. Memakai baju dinas serdadu. Sepatu jenggel milik serdadu dan senapan. Kulitnya putih bersih, matanya bersirat biru. Yu Basirah bilang, anaknya telah diangkat sebagai prajurit di negara lain.

Seseorang mendekat padanya dan merangkulnya. “Nyebut, Basirah!”

Aku tak beralih dari tempatku, juga tidak berniat mendekati Yu Basirah yang masih bersikeras menganggap kursi kosong itu adalah Basuki. Makin kuat perempuan-perempuan itu ingin menenangkan Yu Basirah, makin kuat Yu Basirah memberontak dan mengata-ngatai para perempuan itu. Sementara para lelaki di luar berunding. Pak Ustaz Damar sedang pergi umrah, mereka berpikir keras mencarikan sosok yang bisa menolong Yu Basirah.

“Karena kebanyakan ritual, bisa jadi Basirah kerasukan.”

“Betul itu. Sudah tahu ritual begitu syirik, tetap saja dilakukan.”

Aku mendekat kepada mereka, “Saya kira tidak ada satu ibu pun yang tidak kangen dengan anaknya setelah berpisah sekian lamanya.”

“Tapi tetap saja Ambarwati, Basirah sudah melakukan perbuatan syirik. Ia halalkan segala cara, jadinya begini, kan.”

“Kita belum salat magrib. Kita biarkan dulu saja. Masa karena ngurusin Basirah yang enggak jelas kita ninggal salat.”

Beberapa laki-laki dan perempuan tadi pergi meninggalkan rumah Basirah. Sekarang tinggal aku. Aku yang masih menyaksikan kerinduan seorang ibu tumpah.

“Ambarwati, sini masuk!”

Yu Basirah memanggilku. Aku duduk di sampingnya. Ia menceritakan kepadaku bahwa ada perban di pundak Basuki. Perban itu membalut pundak Basuki karena selongsong peluru membidik pundaknya ketika ia berperang.

“Perang?” tanyaku takut salah dengar.

Yu Basirah menatap lama kursi di depannya dan manggut-manggut, seperti menerjemahkan bahasa seseorang. Memang ia hendak menerjemahkan apa yang dikatakan Basuki kepadanya kepadaku.

“Dia berbicara sangat lirih, Ambarwati. Jadi, biar aku saja yang menjelaskannya padamu.”

Aku mengangguk menghargai. Yu Basirah bilang, Basuki telah diangkat sebagai prajurit untuk memperebutkan sebuah wilayah yang dikuasai warga Yerusalem. Ia dijanjikan sebidang harta yang berlimpah oleh Perdana Menteri begitu dia resmi menjadi warga Tel Aviv.

“Dia pulang hanya sebentar, Ambarwati. Masih banyak tugas dari Jenderal yang harus dia selesaikan. Menyabotase seluruh aset musuh, dia barusan bilang begitu, Ambarwati. Dia akan melakukan tugas berat ini dan membasmi bersih orang-orang penjajah itu.”

“Ambarwati, aku tidak mempermasalahkan pekerjaan Basuki itu apa, yang penting dia pulang. Dia sudah pulang.”

Aku mengusap pundak Yu Basirah. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, aku yakin, rasa rindu yang membelenggu bisa saja membuat seseorang berhalusinasi seperti ini. Saat Yu Basirah telah tenang, Mbah Jumadil diikuti para warga yang pulang dari masjid masuk ke rumah.

Yu Basirah berlutut pada Mbah Jumadil. Ia sangat berterima kasih sebab setelah enam belas tahun lamanya ia dapat melihat anaknya pulang, meskipun orang lain tidak memercayainya. Yu Basirah mengadu bahwa warga mulai tidak beres karena menganggap hal yang ia lakukan sewajarnya seorang ibu menyambut anaknya pulang justru dianggap kerasukan oleh warga.

Mbah Jumadil memejamkan mata. Jemarinya yang berjajar batu akik tua itu memegang ubun-ubun Yu Basirah. Orang-orang tersenyum, mungkin mereka mengira Yu Basirah betulan kerasukan. Sementara aku masih ragu. Ritual yang dilakukan Yu Basirah, kegiatan yang kulihat saat ini, menurutku ini semua di luar akal sehat. Bisa saja yang Yu Basirah butuhkan hanyalah terapis jiwa.

“Sudah cukup ritual yang kaulakukan, Basirah. Semuanya sudah berakhir.”

“Maksudnya bagaimana, Mbah?”

“Basuki sudah pulang kepada Pemilik Jagad.”

Orang-orang menyimak Mbah Jumadil saksama.

“Ruhnya baru saja kemari, berpamitan kepadamu. Ia telah menjadi serdadu yang gugur di tangan para mujahid. Doakan saja, supaya Pemilik Jagad ampuni keluputannya.”

“Tidak. Dia masih hidup. Dia mencicipi masakanku, dia juga bisa bercerita. Dia hanya kembali untuk melaksanakan tugas.”

Mbah Jumadil menuang air dari kendi. Ia mantrai air itu dan menyuruh Yu Basirah meminumnya. Seperti pakai ajian, Yu Basirah jatuh tertidur. Kami semua panik, tak tahu harus melakukan apa. Mbah Jumadil bilang, itu hanyalah ajian penyirep agar Yu Basirah tenang dan melupakan kejadian ini. Jadi, kami tak perlu cemas.

“Memang sakti Mbah Jumadil,” seru Pak Sobrun di belakang dan aku melihat Pak Somad menyikut perutnya.

Situasi mulai normal kembali. Kini aku terduduk di kursi riasku. Sepulang dari rumah Yu Basirah tadi, aku jadi makin matang menolak lamaran Mas Joko. Lebih baik aku menjadi perawan tua yang bertani dan berpuisi daripada suatu saat nanti harus kulalui juga takdir semacam Yu Basirah. Kuraih buku harianku, dan membaca kembali puisi yang belum sempat kubuat judulnya.

TAMAT


Tentang Penulis:
Solu Erika Herwanda adalah mahasiswi semester enam yang sedang belajar menulis yang baik. Tulisan apa saja.

Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.