Seorang gadis berdiri di depan
meja.
Di atasnya terdapat beberapa buket bunga dan foto seorang gadis
cantik yang tersenyum lebar. Ia meratapi foto gadis itu. Orang-orang yang memperhatikan dirinya
hanya diam di sana sejak tadi, memandanginya dengan iba.
“Katanya Sachi terjatuh dari
kamar apartemennya di lantai tujuh.”
“Kudengar dia sedang mabuk saat
itu, padahal dia dikenal sebagai gadis yang baik dan pintar.”
“Kasihan sekali. Dia
kan baru jadian dan kelihatan bahagia banget.”
Erika berbalik dan memutuskan
untuk kembali ke tempat duduknya. Gadis-gadis yang baru saja membicarakan
tentang kematian Sachi itu menghampirinya.
“Hei, Erika, kamu tidak
apa-apa?” tanya salah satu dari mereka. “Pasti sulit bagimu karena kamu yang paling dekat dengan
Sachi.”
“Kalau kamu mau, kami akan
mendengarkan semua curhatanmu,” kata gadis lainnya menimpali. Erika tersenyum
tipis.
“Terima kasih banyak ...,”
balasnya, “... sudah memperhatikanku yang
bahkan tidak menitikkan setetes pun air mata,” lanjutnya
dalam hati lalu menyeringai di balik poni panjangnya.
Sachi adalah sahabat Erika
sejak TK. Gadis itu cantik, imut, pintar, dan punya pacar ... bak Tuan Putri yang
dapat menarik perhatian siapa pun,
setiap kali Erika berjalan bersamanya, gadis itu selalu mendapat perhatian dari orang-orang, sedangkan
dirinya hanya dipandang sebelah mata. Erika selalu iri dengan Sachi
yang seperti itu. Ia
sempat berharap agar gadis itu lenyap.
Minggu lalu, gadis itu ditemukan tergeletak tewas di halaman apartemennya. Erika terkejut dan
sempat merasa sedih ketika mendengar berita itu. Namun, kesedihan itu tak
bertahan lama. Kematian Sachi lebih membuatnya merasa senang. Terlebih lagi,
sekarang ia memiliki kesempatan untuk menjadi pacar Eiji.
Tertulis kata dalam
coretan di dalam hati.
“Dapatkah aku memiliki
kesempatan untuk ungkapkan rasa?”
Suara itu, meskipun tak
terucap, namun terukir di dalam kalbu.
Bila dunia dapat
dipinta dalam asmara, mungkin kata-kata hanya tak bersurat.
Pada akhirnya, semua hanyalah
impian semata,
yang tersimpan dalam hati yang
sederhana.
Sebuah teka-teki
beranjak menghantuiku,
“Apakah ini adalah saat yang
tepat bagiku?”
Langit biru perlahan berubah
menjadi jingga keemasan yang disusul oleh semburat merah darah. Cahaya jingga
masuk melalui celah-celah ventilasi. Jendela yang terbuka membuat gorden putih
di kelas menari-nari tertiup embusan angin.
“Ini tidak masuk akal,” ujar
Eiji dengan suara berat. “Padahal aku ingin mengajaknya makan malam di sebuah
restoran mewah untuk merayakan hari jadi kami.”
Erika menatap simpati ke arah Eiji. Ia bergerak mengusap bahu Eiji pelan, mencoba menghiburnya. Eiji menatap Erika dengan matanya yang
sayu. “Tapi syukurlah, ada Erika yang menemaniku dan
berbagi rasa yang sama,” ungkapnya sembari tersenyum tipis.
Erika membalas senyuman itu
dengan sedih. “Sebagai sahabatnya, aku turut merasa sedih ...” timpalnya. “Walaupun dalam hati,
sebenarnya aku merasa senang,” batinnya,
berbanding terbalik dengan apa yang mulutnya ucapkan.
Sebelum Eiji berpacaran dengan Sachi, Erika sudah menyukai cowok itu
sejak lama. Erika selalu mencoba mencari perhatian
Eiji dan mendekatinya, tetapi laki-laki
itu tidak pernah menggubrisnya. Selama
ini Eiji hanya memberikan perhatiannya kepada Sachi. Ketika Sachi
bilang kalau ia juga menyukai Eiji, hal itu sangat menyakiti hati Erika.
Whooosh!
Tiba-tiba
perasaan aneh menyergap Erika. Matanya tertuju pada gorden di sudut kelas. Di
baliknya terlihat siluet tubuh seseorang. Erika menelan ludah. Detik
berikutnya, napasnya tersengal saat menyadari sosok yang tadi mengamatinya telah
hilang.
“Erika?” Suara Eiji mengalihkan perhatian Erika. “Mau pulang bersama?”
Mendengar ajakan tersebut, mata Erika
berbinar. Gadis itu langsung setuju tanpa berpikir panjang. Pulang bersama Eiji
adalah salah satu impian terpendamnya. Saat mereka berjalan bersama menuju
loker sepatu, Erika sepenuhnya melupakan kejadian misterius di kelas.
Setibanya di depan loker untuk mengganti sepatu, sebelum meninggalkan sekolah, Erika
tidak dapat menemukan kunci loker
miliknya. Ia merogoh isi tasnya dan seluruh sakunya, tetapi masih tidak menemukan kunci lokernya.
“Ada apa, Erika?” tanya Eiji.
Erika menghela napas. “Sepertinya
aku meninggalkan kunci loker di kelas. Aku akan segera kembali,”
ujarnya sebelum berjalan kembali ke kelasnya yang terletak di lantai dua.
***
Matahari hampir terbenam
sepenuhnya, menyisakan cahaya temaram yang membuat lorong di lantai dua sedikit
lebih gelap. Suasana sekolah terasa sepi. Anak-anak lain sudah pulang sejak
beberapa jam lalu. Entah hanya perasaan Erika saja
atau suhu yang ia rasakan
memang lebih dingin dari sebelumnya.
Di dalam kelas yang makin gelap,
Erika mencari kunci lokernya. Ia menemukan kunci lokernya tergeletak di atas mejanya.
“Ini dia!” seru Erika.
Suasana kelas terasa sunyi dan
cahaya temaram dari luar jendela memberikan atmosfer yang mencekam. Erika
meraih kunci lokernya dan berdiri. Namun, sebelum meninggalkan kelas,
pandangannya tertuju pada meja Sachi.
Sejujurnya, kepergian Sachi
membuat gadis itu merasa sedikit kesepian. Erika terpaku melihat foto Sachi. Dari
lubuk hatinya, ia mengaku bahwa Sachi memang sangat cantik dan hal itu
membuatnya iri hati. Gadis itu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menyadari
ada sesuatu yang janggal.
Sesuatu yang janggal pada foto Sachi. Gadis itu memicingkan
matanya, memandangi foto tersebut dengan intens. Terdapat bercak darah tepat di bawah kedua mata Sachi,
seolah-olah Sachi dalam foto itu sedang menangis darah. Bercak
darah di foto
wajahnya makin mencolok dan Erika merasa napasnya tersangkut. Saat mencoba
memahami kejadian yang tidak masuk akal ini, Erika mendengar suara langkah
seretan di sepanjang lorong.
Ia memberanikan diri untuk melirik dari sudut matanya. Sesuatu yang tak terlihat
oleh mata manusia umumnya mulai muncul dalam pandangannya. Siluet tubuh
seseorang berdiri di balik gorden. Erika menghela napas dan berani menatap
sosok yang tersembunyi itu. Saat gorden melambai, Erika melihat sesosok gadis
dengan seragam putih pelaut yang berlumuran darah. Seorang gadis dengan senyumannya yang menyeramkan hadir kembali.
Bagian atas tubuhnya tertutup gorden membuat wajahnya tak terlihat sepenuhnya.
Tubuh Erika mematung ketika ia bisa melihat sosok itu dengan jelas. Sosok itu tersenyum ke arah Erika, beberapa giginya sudah tidak ada, tulang hidungnya patah, dan kedua matanya tak
berhenti meneteskan darah. Seragam putih pelautnya persis seperti yang Erika
kenakan berlumuran darah. Sosok itu merupakan Sachi, tetapi dengan penampilan terburuk yang pernah Erika
lihat.
“Sachi?” bisik Erika dengan
gemetar.
“Jauhi Eiji ...!” bisik Sachi dengan suara serak seolah-olah datang
dari alam baka.
Napas Erika makin tercekat saat
Sachi makin mendekat ke arahnya dengan kaki diseret. Detik berikutnya, sosok itu lenyap. Erika berdebar, merasa ada sesuatu
yang tidak beres. Ia
memutuskan untuk segera meninggalkan kelas.
Dengan kesunyian yang
mengepung, samar-samar Erika mendengar seseorang menyeret langkah. Gadis
itu tidak berani menoleh ke belakang, ia terus berlari di
sepanjang lorong. Erika tiba di depan loker sepatu dengan napas tersengal-sengal. Suara langkah kaki yang
diseret itu menghilang, tetapi ia masih merasakan adanya kehadiran yang
mengawasinya. Namun, Eiji tampak tidak menyadari apa-apa.
Mereka berjalan bersama menuju pintu
keluar dan Eiji bertanya dengan cemas, “Kamu
baik-baik saja, Erika?”
Erika mencoba menyembunyikan
kecemasannya. “Aku hanya merasa agak lelah. Tidak apa-apa kok.” Di dalam
hatinya, bayangan Sachi yang menakutkan masih membayangi pikirannya.
***
Pulang perlahan bersama Eiji, Erika
mencoba menghapus semua kejadian misterius dari pikirannya. Namun, di lubuk
hatinya, rasa cemas dan ketidakpastian makin menguat.
Setibanya di depan pintu apartemen, Eiji
memberikan senyuman kecil. “Terima
kasih sudah mau pulang
bersamaku, Erika. Hatimu pasti masih terpukul oleh kepergian Sachi. Jangan terlalu
terbebani oleh semuanya. Kita akan melalui ini bersama-sama, ya?”
Erika mengangguk dan tersenyum lebar. Ia
senang merasa diperhatikan oleh Eiji. “Terima
kasih, Ei—“
Erika kembali terdiam.
“Kamu terlihat pucat lagi. Kamu
baik-baik saja?”
Erika masih terdiam, tidak menjawab
kekhawatiran Eiji. Lidahnya kelu. Kedua matanya yang terbuka lebar menatap
lurus ke belakang Eiji. Tepat di belakang punggung laki-laki itu, sosok dengan
seragam berlumuran darah kembali muncul. Sosok Sachi berdiri dengan senyumannya
yang menakutkan.
“Jauhi
Eiji …!”
“Sachi,
kumohon, jangan ganggu aku!”
pintanya dengan suara gemetar.
Eiji mengernyitkan dahi. “Erika, itu tidak lucu.
Sachi sudah tidak ada.”
Erika terkejut. Apakah Eiji benar-benar
tidak bisa melihat Sachi? Sementara itu, Sachi terus mengulang-ulang kalimat
“jauhi Eiji”. Senyumannya makin mengerikan, darah terus menetes dari matanya,
dan Erika merasa muak. Erika
menatap Eiji dengan bingung. Laki-laki itu tidak menunjukkan reaksi apa pun selain kekhawatiran,
membuat Erika makin yakin bahwa Eiji tidak melihat arwah Sachi.
“Jauhi
Eiji,” desis Sachi sambil tersenyum lebar.
Tubuhnya yang berlumuran darah menembus Eiji, mendekati Erika dengan langkah
kaki yang diseret, dan
membuat Erika merasa kehilangan
kendali atas dirinya sendiri.
“Pergilah!
Kamu sudah mati, berhenti berlagak seolah-olah
kamu masih menjadi pacar Eiji. Asal kamu tahu, aku menyukai Eiji lebih dulu
sebelum kamu, Sachi!”
ujar Erika setengah berteriak.
Sosok berlumuran darah itu terhenti. Kedua
matanya meneteskan darah lebih banyak, membuat Erika makin bergidik ngeri. Namun, tubuhnya kaku.
Sementara senyuman sumringah terbit di
wajah Eiji. “Erika,
jadi kamu juga menyukai aku?”
Erika menatap Eiji dengan bingung. Apa
maksudnya 'juga'? Belum sempat Erika hendak bertanya, kedua tangan besar Eiji seketika sudah berada
di wajah Erika. Eiji merengkuh tubuh mungil gadis itu ke dalam pelukannya.
Erika terkejut, tetapi ia membalas pelukan itu.
Dalam pelukan Eiji, tanpa disadari
setetes air mata turun membasahi pipinya. Apakah ini artinya, cintanya
terbalas?
Tcesh!
Erika terbelalak saat merasakan sesuatu
menusuk perutnya hingga menembus punggungnya. Sebuah pisau belati terbenam di
bawah tulang rusuknya. Dalam sekejap, darah mulai membanjiri pakaiannya.
Eiji mencabut pisau belati tersebut. “Kamu tahu? Aku merasa
bahagia ketika gadis yang menyukaiku perlahan-lahan mati di tanganku,” kata Eiji sambil
memiringkan satu sudut bibirnya ke atas. “Tetapi
Sachi, gadis itu mencoba kabur dariku saat aku ingin membunuhnya. Sampai
akhirnya dia terjatuh dari apartemen.”
Laki-laki itu menghentikan ucapannya. Ia
menatap Erika yang berusaha mencengkeram kemejanya sambil tersengal-sengal
mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Kasihan
sekali. Kamu begitu iri dengan Sachi sampai berhalusinasi.”
Dengan wajah yang makin memucat dan napas yang terengah-engah,
Erika terjatuh ke tanah.
Matanya memandang langit malam yang diselimuti oleh kegelapan.
Kedua mata Erika meneteskan air mata.
Ternyata, ‘jauhi
Eiji’ merupakan peringatan
dari Sachi. Bahkan setelah tiada,
Sachi masih memedulikannya.
Erika menyesal terhadap obsesinya kepada
Eiji yang telah membawanya pada akhir yang tragis.
“Maafkan aku, Sachi. Aku yang seharusnya lenyap,” bisik Erika, sebelum mengembuskan napas terakhirnya.
TAMAT
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.