Angin laut berembus pelan sampaikan wiyatanya pada sang insan. Temaram cahaya fajar pun mulai menyapa jiwa-jiwa yang terlelap. Pagi itu, aku bangun dengan keadaan gundah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Menyambutnya dengan melamun. memaksa diriku ‘tuk kembali terbangun.

Embun pagi menyapaku ketika diriku berjalan ke luar dari tenda tempatku beristirahat, menyusuri pasir pada pesisir pulau, menapaki jalan menuju kepada sebuah tebing di mana aku bisa menikmati dersik angin samudra lepas.

Cukup lama diriku melamun meratapi kejauhan cakrawala sana hingga akhirnya seorang kawan datang menghampiriku.“Kenapa engkau tak mengajakku, heh?” sapanya.

“Ah, maafkan. Sepertinya diriku hanya terlalu banyak melamun sendiri, Rama,” sahutku sembari beranjak berdiri.

“Meski bergundah gulana pun kau harus tetap bilang padaku, heii ...,” sahutnya sembari memukul pundakku pelan. “Huh! Okelah. Kalau begitu, kita jalan-jalan ke permukiman saja sekarang.”

Maka jadilah kini kami berdua melangkah bersama menapaki jalan setapak pada permukiman, menyaksikan hiruk pikuk suasana pedesaan pada pagi hari, tampilkan sesuatu yang selalu melekat pada kalbu. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba kami berjumpa dengan seseorang. Sang Amang pada Kepulauan Bharata ini, Amang Aramba Shamudra.

“Ahh ... selamat pagi kalian. Bagaimana tidur kalian semalam?” tanyanya pada kami.

“Masih seperti biasa, Amang, baik-baik saja,” jawab Rama.

“Ah, syukurlah kalau begitu.”

“Ngomong-ngomong, sudah sejauh apa persiapan kita sebelum hari itu, Amang?” tanyaku teringat akan sesuatu.

“Huft! Sudah lama ya sejak hari itu. Kini sudah banyak yang berlalu,” ucap Amang sembari mendongak menatap langit biru. “Walaupun pada hari itu kita berhasil mengalahkan mereka, tapi banyak pula yang telah kita korbankan, bahkan seseorang yang terdalam kita juga satu per satu kian menjadi harga yang harus dibayar, yang kini juga berikan pelajaran yang berharga pada kita.”

Hingga sesaat, Amang masih menatap jauh angkasa sana, yang membuatku dan Rama juga menatap kejauhan yang sama di sekian saat.

“Ehem! Maafkan aku. Mari kita kembali ke pembahasan kita. Dari kondisi persiapan kita, baik dari segi armada maupun juga logistik, kita sudah berada pada persentase yang cukup baik. Kemudian dari kondisinya, besar kemungkinan kita akan selesai dalam rentang beberapa hari ke depan saja.”

“Jika begitu, sebaiknya kita segera mempersiapkan yang lainnya,” ucapku sontak. Jadilah pada hari-hari itu, kami bergegas menuntaskan persiapan demi sebuah pelayaran besar-besaran.

***

Dua hari kini usai berlalu.

Hari ini ialah hari di mana pelayaran besar-besaran itu akan terjadi. Pada pagi itu, segala penjuru pesisir pulau penuh berbaris arak-arakan kapal pengembara yang sudah siap untuk berlayar. Pagi itu seluruh warga Kepulauan Bharataa berkumpul pada dermaga dan penjuru pantai, bersiap-siap dengan penuh semangat untuk melakukan pengembaraan samudra.

Satu jam berlalu hingga kapal sudah siap untuk berlayar. Sebagian gadis sudah bersedia pada buritan kapal untuk menaburkan bunga-bunga indah selepas kapal mulai meninggalkan Pulau Bharataa, meninggalkan jejak indah untuk pulau kami tercinta.

“Selamat tinggal, tempat tinggal kami tercinta!” teriak Rama lantang, diikuti seruan dari anggota suku yang lain.

“Selamat tinggal, engkau bersama kenangan manis dan pahitnya.” imbuhnya lirih sembari berpaling masuk menuju ke ruang peristirahatan kapal.

Lembayung sudah tiba ketika kami benar-benar sudah tak lagi melihat Kepulauan Bharataa di ufuk sana yang kini hanya menyisakan kami, para Suku Bharataa.

***

Secarik kertas bermandikan tinta, yang berusaha ungkapkan sesuatu yang walau ujungnya selalu layu. Hanya menyeru, memanggil sepi.

Embun
Yang menghiasi dedaunan
Membasuh hati

Rasa
Yang menghampiri jiwaku
Di setiap pagi

Di saat kau hadir
Menghampiriku nan tenangkanku
Di saat kutahu
Dirimu ada, walaupun sunyi

Di samudra sini
Kunanti dirimu
Di segala waktu

Sadarkanlah diriku
Atas wujudmu
Sang kesetiaan

Sebuah sajak yang kutulis pada malam pertama pengembaraan itu kini tergeletak pada samping dipan tempat aku tertidur. Fajar kini kembali tiba, menyapa jiwa-jiwa yang kesepian.

“Selamat pagi, Bahar. Bagaimana istirahatmu semalam?”

“Penat seperti biasanya, Haazir.”

“Ada baiknya kau semangat sedikit, Kawan,” kata Tzahal menimpali, temanku yang lain.

“Akan kucoba,” jawabku datar.

Waktu berjalan tak terasa hingga tengah hari pun tiba. Orang-orang di kapal kini juga sudah mulai terbiasa dengan hidup mengembara. Namun, sesuatu tak terduga tiba-tiba menyapa kami.

Terompet panjang tiba-tiba berbunyi. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal pinisi yang terombang-ambing di laut lepas tanpa memiliki sebuah layar. Membuat kami waspada, Ada ‘benda tak dikenali’.

Tzahal pun memberikan perintah agar kapal kita mendekati mereka, menyisakan kapal-kapal lainnya untuk bersiaga di belakang.

Jarak kian dekat hingga kami melihat salah seorang penumpang kapal itu mengibarkan bendera putih, tanda berdamai.

Melihat hal itu, kami pun memutuskan untuk bersandar dengan kapal tersebut, melakukan perbincangan singkat dengan mereka, hingga kami tahu bahwa sebenarnya mereka menjadi korban penelantaran yang kini juga mendapatkan ancaman dan musuh yang sama dengan kita, membuat kita menjadi sepihak.

“Kita harus segera lakukan sesuatu. Kapal kerajaan juga pasti sudah berkeliaran di daerah sini!” ujar Rama di saat kapal kita sudah kembali berkumpul.

“Biarkan aku memberi usulan,” jawabku menengahi. Biarkanlah kesetiaan berpihak kepadaku di hari ini.

***

Akhirnya kami tiba di suatu tempat. Sebuah pulau yang berisi juga terdiri dari batuan lancip nan curam. Pulau berbentuk sabit yang pada penjuru sisinya merupakan tebing-tebing tinggi yang menjulang, menjadikannya tempat berlindung yang sempurna. Membuat kita bisa melepas penat di pulau itu sejenak

“Terima kasih banyak, Tuan Tzahal, Tuan Bahar, dan yang lainnya karena bersedia untuk membantu kami. Kami sungguh bersyukur.”

“Bukan perkara besar, Tuan Yudhara. Kami hanya membantu saudara senasib kami,” jawab Tzahal. “Namun, sebenarnya apa yang sudah terjadi pada kalian hingga keadaan bisa sampai begini?”

Pria paruh baya bernama Yudhara itu sejenak mengambil napas panjang. “Sebenarnya kami adalah rombongan keluarga besar suku Anila, suku pimpinan dari kerajaan kecil bernama Garwanahat. Singkat cerita, kontrak yang kami jalin dengan Kerajaan Kahimahra kami batalkan setelah melihat kondisi ketimpangan masyarakat di sana. Mereka tak terima, jadilah pasukan armada mengepung dan menelantarkan kami ke samudra lepas hingga akhirnya kalian tiba.”

“Sungguh keterlaluan!”

“Sabarlah dulu kawanku, Rama,” ucap Haazir. “Amang, sebaiknya kita adakan rapat nanti malam dan kuharap perwakilan dari kalian juga bisa hadir. Sekarang biarlah kita rehat dulu. Semoga Tuhan Yang Esa mempermudah urusan kita.”

Pertemuan pagi itu ditutup. Semua orang kembali ke kegiatannya masing-masing.

***

Diriku hanya meratapi sunyi setelah rapat itu berakhir. Hanya duduk di pantai yang indah itu sepanjang hari beralaskan butiran pasir dan batu kerikil hingga seseorang tiba-tiba datang menyapa.

“Tuan Bahar ..., betul Tuan Bahar, kan?” Seorang gadis dari keluarga tadi datang tiba-tiba seraya bertanya.

“Betul. Ada apa?”

“Ini ada sedikit makanan dari bapakku, Yudha.”

“Ah, terima ka—“

“Namaku Nahyra. Nahyra Anila. Kami sangat berterima kasih karena sudah berkenan menyelamatkan kami. Itu sangat berarti,” selanya

“Oh, itu bukan apa-apa,” jawabku, “tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kontrak apa yang kalian batalkan itu? Eh, maaf, aku terlampau bertanya.”

“Tidak masalah, Tuan.” Sejenak Nahyra ikut duduk di sampingku. “Aku kecewa dengan perlakuan para pemimpin kerajaan dan juga mantan calon suamiku.”

Nahyra menunjukkan pergelangan jarinya.

“Itu adalah pertunangan yang sedari awal ialah permintaan mereka. Kami yang kerajaan kecil hanya sanggup menurutinya hingga kami tiba di sana dan melihat semua kebusukan pada diri mereka. Kami sudah mencoba berbicara dan berdiskusi dengan mereka. Namun, mereka hanya menyampingkan semua pembicaraan kami itu.”

Sejenak ia berdiam, melepas cincin yang tadi ia kenakan itu. “Pada hari kemudian diriku marah, mengutuk segala perbuatan mereka. Kemudian kami pergi pulang dengan berlayar. Namun, mereka kembali mengkhianati kepercayaanku sekali lagi.”

“Dasar bedebah!” teriaknya parau sambil hendak melempar cincin itu. Namun, tanganku sontak bergerak menahannya.

“Kau tak perlu melakukan itu,” ucapku di sela isakannya. “Kesetiaanmu berada pada tempat yang salah, seperti apa yang terjadi padaku sebelumnya. Dulunya aku adalah seorang Laksdya mereka, yang juga anak angkat dari seorang laksamana ternama. Kesetiaanku kala itu murni demi menjaga rakyatku.”

Diriku berdiam sejenak, memandangi desiran ombak di depan sana. Menarik napas panjang.

“Hingga ayahku sendiri mengkhianatiku. Dia tenggelamkan aku pada kenestapaan tanpa ujung. Aku bertahan hingga menemukan rumah baru bagi diriku, dan berkatmu hari ini, keraguanku pun sirna. Aku sudah menemukan di mana aku harus berjanji setia. Terima kasih.” Diriku pun tersenyum senang pada hari itu. Senyum pertamaku, sejak pengkhianatan itu. Keraguanku kini telah sirna. Bangsa dan rakyatku dulu masih sangat membutuhkan kesetiaan, terlebih juga kebebasan. Kini aku sudah mengetahui di mana harus bersumpah setia.

“Eh, benarkah?” Tanpa kusadari Nahyra juga sudah tak lagi terisak.

“Sekarang giliranmu untuk merasa bahagia juga. Ayo, kita kelilingi pulau ini.”

“Eh? Tak usah repot-repot, Tuan Bah—“

“Panggil saja Bahar atau Kak, tak perlu kau merasa sungkan.” Tanpa menunggu, aku sudah menarik pergelangan tangannya.

Hari itu kami berkeliling bersama. Hari itu aku sangat bersyukur. Sejak hari itu pun aku tak lagi merasakan hening dan kebisingan. Sunyi itu telah selamatkan aku dari luka, membuat atma ini kembali bahagia.

***

Di keesokan paginya, sesuai dugaan. Satu Armada lengkap sudah mengepung kami dari jarak 1 kilometer, berbaris panjang menutupi horizon laut.

Seperti biasa, acara ramah-tamah sebelum peperangan. Mereka datang mengirimkan satu buah kapal, terlihat sang laksamana ikut di dalamnya. Perawakannya tinggi tegap dengan mengenakan jubah megah dan sebuah topeng Klana Sewandana.

“Senang bisa bertemu, Komandan Rama, dan juga ... engkau Laksamana Madya Baharil Rahaa.”

“Cepat saja, apa maumu datang kemari, heh?”

“Bukankah sudah jelas? Aku minta kauserahkan mereka sekarang maka hubungan di antara kita dapat kami perbaiki!”

“MANA SUDI! Kau yang pertama kali menelantarkan mereka, menelantarkan CALON ISTRIMU! Tak akan kubiarkan kau melakukannya lagi.”

“Ah, seperti dugaanku. Baiklah, Bahar.” Sejenak ia tanggalkan topeng yang ia kenakan sehingga tampaklah sebuah wajah yang amat kukenali.

“Maaf sebelumnya. Namaku adalah Laksamana Muda Srah Yrahat dan aku rasa engkau masih mengenal siapa diriku bukan, Kak?”

“Sedari tadi pun tahu bahwa itu kamu adikku.”

Selepasnya kami kembali ke posisi masing-masing. Peperangan Sabit akan segera dimulai.

Segera celah pada tebing ditutup rapat-rapat. Suara terompet terdengar, tabuhan tambur musuh mulai membahana. Dari kejauhan sana kapal-kapal Armada Jheaa Dwipa juga mulai bergerak maju, mendekati pulau sabit dari sisi dalam maupun luar.

“SEGERA PERINTAHKAN SEMUA ORANG DI POSISI! Rencana ini HARUS BERHASIL!”

Kapal-kapal terus mendekat. Sebentar lagi akan memasuki jarak tembak meriam dari arah luar maupun dalam.

***

Namun, tiba-tiba .... Duarrr! Duarrr!

Dari kedalaman laut sana bergejolak sejumlah air panas. Gunung berapi yang ada di sepanjang sisi luar pantai bergemuruh, letupkan sejumlah laharnya, membuat gelombang air panas tinggi, jadikan kapal musuh tak bisa memasuki garis pantai luar.

“Semuanya, putar haluan! Kita bergabung dengan kubu dalam!”

Pada kubu dalam, peperangan juga masih belum memanas. Kapal-kapal armada juga masih belum bisa meruntuhkan tebing yang ada, membuat kami belum saling menyerang secara kontak.

“TERUS LANCARKAN SERANGAN! SERANG TEBING ITU SAMPAI RUNTUH!”

Hingga beberapa waktu, saat kedua kubu kembali bersatu, dan tembok pertahanan kita akhirnya runtuh. Namun, itulah rencana kita. Ratusan kapal terkurung dalam celah sabit yang sempit.

“SERANG!” teriak Rama mengomandoi. Ribuan anak panah berapi seketika dilepaskan dari tebing-tebing yang curam. Pun juga dengan bimbingan suku anila, para pasukan mulai beterbangan dari tebing, menyerang langsung menuju armada musuh.

“KURANG AJAR!” teriak Srah serapah. Peperangan meletus besar seketika.

Api semakin membumbung tinggi. Aku berkelit di antara irama pedang pada peperangan di atas perairan sini hingga pada suatu kesempatan, duel mempertemukan diriku dengan Srah.

“KAU TAK AKAN BISA KALAHKAN AKU!”

“Kita lihat saja di mana kesetiaan akan berpihak kali ini!”

Kini Sudah saatnya takdir untuk berkata. Inilah saatnya sunyi membungkam, sadarkan serapah.

***

Asap membumbung tinggi tertiup sang anila. Di perairan sini peperangan telah usai tak terasa. Armada Jheaa telah runtuh. Sebuah pasukan kerajaan kembali takluk.

“Rahh! Diriku sudah takluk! SEKARANG KAU TUNGGU APA LAGI, HAH? BUNUH AKUU!”

Brakk!

Tanpa sepatah kata, kupukulkan sarung pedangku menuju dahinya. Membuatnya tertunduk diam seketika di hadapanku di kala itu. Angin tetap bertiup, tetap setia berembus tiupkan sebuah kebebasan.

Sebuah sobekan kertas mendarat pada jarak antara kami berdua. Kertas usang yang kutulis pada awal pelayaran menuju kesetiaan yang bebas.

Secarik kertas bermandikan tinta yang berusaha ungkapkan sesuatu yang walau ujungnya selalu layu. Hanya menyeru, memanggil sepi.

Embun
Yang menghiasi dedaunan
Membasuh hati

Rasa
Yang menghampiri jiwaku
Di setiap pagi

Di saat kau hadir
Menghampiriku nan tenangkanku
Di saat kutahu
Dirimu ada, walaupun sunyi

Di samudra sini
Kunanti dirimu
Di segala waktu

Sadarkanlah diriku
Atas wujudmu
Sang kesetiaan

Sebuah sajak yang kubacakan kembali di hadapan seorang yang kini membutuhkan kesetiaan. Fajar kini kembali terlelap, menyadarkan para jiwa yang kesepian.

“Kau tak harus butuhkan sunyi ini untuk menyadarkan dirimu, tetapi kini menjadi pilihanmu, memulai mendengar sunyi ataukah menetap bersama kebisinganmu.”

Selepas itu, diriku beranjak pergi meninggalkannya, memaafkannya, membuatnya menetap bersama keheningan. Sebelum nanti ia memilih sebuah pilihan.

TAMAT


Tentang Penulis:
Devrata merupakan seorang penulis yang menggemari gaya sastra lama yang berpadu dengan gaya penulisan modern. Dirinya terbilang baru dalam menulis karya-karya yang ia buat. Kini dirinya masih berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan juga produktivitasnya dengan menulis karya-karya kecil, seperti cerpen dan puisi. Kawan-kawan juga dapat mengikuti aktivitas Devrata melalui @b4skraa di Instagram, tempat di mana ia memamerkan karya dan tulisan barunya.

Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.