Kadang aku
mengingat saat pertama kali aku mengenal Yaya, mendengar suaranya pertama kali
melalui telepon
genggam temanku, sampai benar-benar mengetahui bahwasanya dia adalah seorang
perempuan keturunan Jawa-Lombok yang memandang dunia melalui bilik kacamatanya.
Aku ingat
bagaimana pertemuanku dengannya telah membangun rasa persahabatan di antara kami
yang kemudian mengalami pasang-surut akibat masalah-masalah yang tiada
habisnya. Lagi pula dia cantik, manis, baik hati, ramah, cerdas … mungkin enggak cerdas-cerdas amat
karena selalu salah memilih cowok.
Akan tetapi, bagi diriku sendiri, ia
sempurna.
Kecantikannya telah merenggut hati banyak cowok dan ia juga telah gonta-ganti cowok sebanyak ia mengganti baju, ia telah memacari orang dari banyak kalangan dan jenis, dari cowok buaya darat sampai cowok alim, dari pebisnis sampai penghafal Al-Qur’an. Ia diperebutkan di kalangan cowok dan jika ia putus dengan cowoknya yang sekarang, maka antrean pasti berputar kembali. Ia dikelilingi banyak keuntungan atau bisa jadi ... Yaya adalah wujud keberuntungan itu sendiri.
Saat pertama
kali bertemu dengannya, hidupku hanya tentang hitam dan putih, benar dan salah, iya dan
tidak, atau semacamnya. Akan tetapi, semenjak dekat dengannya aku menyadari bahwa ia adalah pelangi
dengan segala keindahannya, ia adalah Bumi yang menjadi alasan matahari
tercipta. Pertemuan dengannya membawa aku pada ribuan warna-warna baru. Hidup yang abu-abu berganti warna segala rupa. Pertemuanku dengannya telah membawa pada kenyataan bahwasanya masih
ada keindahan-keindahan di sudut-sudut terburuk semesta.
Sempat aku berpikir bahwa dia bukan manusia atau bisa jadi ia tidak berasal dari planet ini. Bagiku, Yaya terlalu indah jika hanya dikenal sebagai manusia dan aku juga kerap kali merasa rendah bila dekat dengannya. Aneh? Mungkin terlalu melankolis, tetapi faktanya memang begitu sebab kerap kali aku merasa menjadi Rahwana untuk dirinya yang Sinta. Kerap kali ia dikelilingi oleh cowok-cowok yang keren dan kaya, dengan mobil berbagai macam rupa, motor keluaran terbaru, serta pakaian-pakaian mahal di mal. Suatu hal yang tidak akan mungkin aku miliki, bahkan jika aku menabung uang sampai mati. Tetapi Maha Suci Tuhan yang menciptakan Yaya sebagai manusia dengan segala keindahannya sebab sebagai orang yang memuji-memuja, tetapi hina-papa, ia tidak melempariku dengan pemberian yang aku beri. Ia menerima. Ia tersenyum ketika menerimanya, menatap mataku melalui kacamata yang bundar, lalu mengucapkan “terima kasih” dengan suara yang teramat lembut dan mampu meredam amarah seisi Bumi.
Aku terjebak
dalam pusaran tentang dirinya, sementara kedewasaan menuntut lelaki untuk
berjuang. Laki-laki dituntut untuk lepas dengan segala imajinasinya dan benar-benar
bertempur dengan dunianya, kendati memang harus menjalaninya dengan pedih dan
kesendirian. Maka dari itu, perlahan kukubur kekagumanku. Puja-puja
dan doa-doa mulai aku kurangi intensitasnya dan pemberian-pemberian aku ubah kepada hal yang
menunjang masa depanku. Oleh karena
itu, aku
mulai membaca buku, menulis puisi, berharap peruntungan
dengan menulis cerita.
Aku mengikuti sebagian lomba, walaupun banyak kalahnya. Aku mencoba membaca puisi dengan lantang dan sendu, mengatur diafragma. Aku banyak berubah semenjak kehadirannya. Menyadari bahwa aku adalah laki-laki, membuatku paham bahwa aku hidup untuk hari ini.
Kala itu kelas
sedang sepi dan SMANHA—sekolahku—masih sibuk dengan festival terakhir yang sebentar lagi akan
digelar. Kadang kala akan kau lihat para OSIS yang bolak-balik membawa banner, cat, dan
perlengkapan lainnya. Pada sore harinya, kalian akan melihat mereka joget-joget, buat komedi, serta
memanjati beberapa bagian strategis di sekolah untuk dipasangkan banner.
Aku pernah bertanya sekilas kepada Salsa terkait hal itu.
“Well, itu kan strategi marketing kami agar banyak yang datang!” ucapnya sembari segera berlari karena dipanggil ketua panitianya.
Ketika aku sendirian di kelas, aku mendengar suara langkah kaki di koridor sekolah sehingga aku memutuskan menoleh dan melihat melalui jendela. Perlahan jendela memunculkan seseorang perempuan dengan wajah manisnya yang bercahaya, membuat jantung berdetak dan serasa dipenuhi kupu-kupu. Aku mengira ia akan ke kelas sebelah, tetapi perempuan yang aku tahu bernama Yaya itu berbelok di depan pintu dan mendatangiku. Cara berjalannya yang anggun membuatku segera melemparkan senyum, tetapi segera kuhentikan karena teringat niat untuk menghentikan perasaan ini.
“Ada apa?” Aku segera bertanya untuk menyelesaikan keinginannya.
“Enggak mau suruh aku duduk dulu?” Ia tersenyum.
“Oke, silahkan duduk.”
“Traktir aku ya!”
“Ini bukan kantin dan kamu kan punya cowok,” jawabku sekenanya. Dalam sepersekian detik ia nampak terkejut dan mungkin juga kecewa. Namun, ia kembali menatap mataku melalui kacamatanya. Tersenyum.
“Kamu enggak apa-apa?”
“Maksud kamu?”
“Setelah aku sering jalan sama cowok, sikap kamu berubah. Kamu sekarang juga terlihat ketus. Apa aku ganggu?”
“Aku lagi buat puisi.”
“Ah! Iya, itu
tujuanku kemari.” Yaya kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya yang ternyata adalah permen
kacang. Ia meletakkannya di atas meja dan berkata, “Aku mau kamu baca puisi
di acara sekolah kita nanti. Teman-teman OSIS juga
setuju. Jadi,
aku tunggu ya! Makasih, Bar.”
Yaya pun berdiri dan berjalan keluar.
“Tunggu … !” ucapku dan membuat dirinya tertahan di depan pintu. Ia menoleh kepadaku dan sekali lagi melemparkan senyum indahnya.
“… Aku mungkin enggak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa membuat puisi. Tulisanku belakangan ini tidak berbobot.”
“Itu bukan Akbar yang aku tahu. Akbar yang aku kenal selalu penuh dengan imajinasi.”
“Tapi memang benar, aku juga enggak tahu kenapa.”
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak tulis hal-hal yang kamu cintai atau sayangi? Kurasa itu bisa menginspirasi. Kalau enggak bisa, kamu boleh jadikan aku objek puisimu. Tulis tentang aku, Bar! Soalnya aku enggak ada habisnya,” ucapnya sembari tertawa dan benar-benar meninggalkan aku di dalam kelas, sendirian, dengan jantung yang masih berdetak cepat dan kupu-kupu yang masih memenuhi jiwa.
Dalam heningnya kelas, aku kemudian mencoba menulis hal-hal yang aku sayangi, tentang perjuangan, dan mimpi. Apa yang dikatakan Yaya ternyata benar, aku mesti menulis apa yang aku sayangi sebab dalam perasaan itu aku tidak terbebani. Perlahan aku mencoba menulis puisi tentangnya, tentang perasaan yang akan segera aku bunuh.
***
Beberapa hari telah berlalu dan acara sebentar lagi akan digelar. Kami sedang mengadakan bookparty sore itu sembari melihat sebagian OSIS ke sana kemari seperti seekor semut. Mereka bekerja luar biasa, bahkan beberapa orang sesekali izin di kelas karena sakit akibat kelebihan bekerja. Sebentar lagi kita akan melihat lomba-lomba, puisi, nyanyian, tarian, drama, perkusi, dan sebentar lagi juga angkatan kami akan berpisah satu dengan lainnya, lepas dan tak terikat, mengejar mimpi masing-masing. Bagaimanapun juga memang tidak ada yang abadi, bahkan waktu yang secara gratis umat manusia miliki hanya akan menjadi kenangan di kemudian hari.
“Ada beberapa hal yang aku dapatkan di buku ini. Bagiku buku ini sangat inspirasional dan bisa menjadi pelengkap buku yang minggu kemarin Sultan bahas. Apa judul buku kemarin, Tan?” tanya Rio yang mempresentasikan buku yang ia baca minggu ini.
“Man Search for Meaning karya Victor E. Frankl,” sahut Sultan.
“Nah, yang itu!
Dalam buku The Top Five Regret of Dying karya Bronnie Ware ini, ia menceritakan
pengalamannya ketika ia masih menjadi perawat untuk orang-orang tua yang telah
di depan ajal mereka. Setidaknya ada lima hal
yang manusia sesali saat hidup, yaitu adalah satu, mereka menyesal karena tidak
hidup seperti yang mereka mau, mereka enggak ada keberanian untuk mengejarnya,
menunda-nunda, bahkan melupakan mimpinya. Kedua, mereka menyesal karena bekerja
terlalu keras karena dengan bekerja terlalu keras, waktu yang dihabiskan dengan
orang yang disayang habis dan hilang, padahal ia bekerja untuk orang yang ia
sayang, Ketiga, ketika manusia di depan ajal, penyesalan terbesar mereka adalah tidak
mau ungkapin perasaan mereka kepada orang yang mereka sayang ….”
Hatiku langsung
tertusuk, pendengaranku menjadi sirna dan pandangan menjadi kosong. Entah
mengapa ucapan tadi begitu dalam, terbang pada imajinasiku sendiri bahwa aku
hidup dalam perasaan yang terpendam selama ini. Takut
untuk mengucapkan, padahal aku pun tahu bahwa jiwaku dengan seluruh perasaannya
membutuhkan keberanian untuk dikeluarkan.
Sore itu aku pulang dengan perasaan kosong, bahkan terbaring sampai tidak bisa tidur sepanjang malam. Perasaanku campur aduk, logikaku bertarung dengan hati. Kemudian aku kembali membuka catatan itu, melihat puisi itu ternyata bukanlah tentangnya, tetapi tentang perasaanku.
***
Tarian dan nyanyian, api dan lampu kerlap-kerlip, teriakan, sorakan, serta segala tentang kebahagiaan menyatu malam itu. Berkali-kali kami memukau penonton dengan penampilan-penampilan yang dilakukan anak-anak SMANHA, kadang tertawa lega, kadang sedih, kadang romantis sehingga beberapa orang kulihat pegangan tangan dalam kelap-kelip lampu. Main mata, jatuh cinta. Keramaian mengisi ruang sepi di Bumi sampai perhatianku tersentak ketika tiba-tiba pembawa acaranya berteriak “Siapa yang mau dengar puisiii?” dan disambut penonton dengan ramai “Akuuu!”.
“Oke, kali ini persembahan puisi dari salah satu sahabat kita, Akbariii!”
Perasaanku langsung jedag-jedug, tetapi kuputuskan untuk naik ke atas panggung dan mengambil sebuah kertas di saku celana yang telah lusuh karena kesal dan bingung untuk membacanya atau tidak di malam ini. Semua lampu tertuju padaku dan membuat aku silau sejenak. Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, diam, kemudian menyapu pandanganku kepada setiap manusia di sana.
“Sebelum kita semua berpisah, puisi ini mau kusampaikan kepada orang yang aku sayang … yang selama aku bertemu dengannya, tidak pernah aku sampaikan.”
Semua penonton terdiam. Beberapa orang yang tadinya bicara juga diam. Maka aku mulai bersuara dengan suara yang lembut.
Tuhan, jika
dengan menjadi hujan aku lebih dekat dengannya, maka jadikanlah aku hujan
Jika dengan
menjadi debu aku lebih dekat dengannya, maka jadikanlah aku debu
Jika dengan
menjadi tanah aku lebih dekat dengannya, maka menjadi tanah pun aku rela
Tuhan,
jadikanlah aku apa pun yang engkau mau, asal terus bersamanya
Aku diam dan semua penonton tidak berkedip menatapku.
Sebab ketika
ia bersama orang lain, aku merasa cemburu
Pecah! Sorakan, suitan, serta kata cieee panjang berkali-kali terdengar dan membuat aku malu. Wajahku memerah, tetapi aku tetap melanjutkan dan sesekali penonton diam dan saling mengingatkan untuk diam.
Tuhan, dalam
remang-remang lampu kamar
Dalam
sunyinya sepertiga malam
Ingatkah?!Aku
pernah berdoa!
Ya Allah!
Berikanlah ia lelaki paling baik di muka Bumi!
Aku berteriak dan teriakanku membuat setiap penonton menarik napas panjang.
Dan
jadikanlah aku lelaki itu
Sekali lagi
pecah, bahkan beberapa penonton yang duduk sampai berdiri
dan bersorak-sorak. Aku menutup puisi dengan terima kasih lalu turun dari panggung.
Pembawa acara memujiku dan berkali-kali mencoba untuk menenangkan penonton. Aku
menarik napas dan terkesiap kala melihat Yaya sedang menyandar pada sebuah
tiang besi, menyilangkan tangan dengan papan rundown acara di tangan
kanannya, menangis. Aku melihat matanya yang sembab dan bersalju, tetapi ia tetap
tersenyum kepadaku.
Entah mengapa seolah dunia milik kami berdua kala itu. Tabir gelap menutup semesta, menghilangkan jutaan cahaya. Hanya ada aku yang berdiri dengan selembar puisi lusuh di tanganku dengan dirinya yang diam-diam menangis. Dalam waktu yang serasa berhenti, dalam kilatan-kilatan cahaya lampu, aku tidak pernah menyadari bahwa perasaanku bisa serapuh ini. Namun, sekali lagi kucoba mengacuhkan segalanya juga tidak mau tahu alasan mengapa ia menangis. Hanya saja kaki tidak mau beranjak dan di panggung mulai terdengar band SMANHA menyanyikan lagu Untill I Found You. Memerangkap aku dengannya, berdiri dan diam, berharap jatuh cinta satu sama lain. Aku harus mengungkapkan perasaanku atau menyesal selamanya. Maka aku memaksa diri berjalan ke depannya sementara band SMANHA bernyanyi halus.
Heaven, when
I held you again
How could, we
ever just be friend
I would,
rather die than let you go
Juliet to
your Romeo
How I heard
you say
“I would
never fall in love again until I found her”
I Said “I
would never fall unless it’s you I fall into
I was lost
within the darkness but then I found her
I found you
Melalui puisi telah kulepaskan segala tentangnya dan bertekad mengejar semua impian-impianku. Akan tetapi, aku bahkan tidak tahu mana yang sebaiknya kukejar antara dirinya atau mimpi sebab saat aku pertama kali bertemu dengannya, jiwaku telah menetapkan bahwa ia adalah bagian dari mimpi itu. Aku mencintainya dalam puisi, sebab dalam puisi, dia abadi.
TAMAT
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.