Deburan
ombak menderu. Heningnya malam membuat darahku berdesir. Aku menatap cakrawala
yang sendu, kelap-kelip bintang yang sunyi, berusaha menghibur hati, walau
semesta turut berduka. Angin bertiup haru, burung-burung bernyanyi lesu, bahkan
sang purnama tampak ragu menampakkan dirinya.
Ingin
sekali rasanya aku pergi dari sini, meninggalkan pekerjaanku, memeluk hangat
adikku yang sekarang satu-satunya keluargaku. Melepaskan laut yang selama ini
telah menjadi urat nadiku, menghidupkan aku dan keluargaku, tetapi menghancurkan semuanya
begitu saja.
***
Pantai
Pangandaran, 2003
“Hati-hati
ya, Aa, Ibu akan doakan selalu,” ucap ibuku sambil
memelukku.
“Kalau
pulang, jangan lupa oleh-oleh ya,
Dek!” gurau Teh Iyah, kakakku.
Aku
baru saja menamatkan praktikku selama satu tahun untuk berlayar. Sekarang, aku
sudah bisa bekerja secara resmi sebagai pelaut. Hari ini, aku akan pergi ke Pelabuhan
Belawandi Medan untuk memulai karirku. Puas rasanya melihat orang tuaku bangga ketika
melihat sertifikatku. Namun, ini
belum apa-apa. Dalam hati aku berjanji untuk pulang setelah sukses. Setidaknya
saat aku pulang nanti,
aku bisa memperlihatkan sesuatu yang lebih hebat. Mungkin juga aku akan segera
melamar gadis idamanku, tapi pastinya setelah aku sukses karena laki-laki itu
dilihat dari matanya, alias mata
pencahariannya!
Aku
lahir dari keluarga sederhana. Ayahku seorang nelayan, ibuku biasa menjual ikan
di pasar, sementara Teh Iyah membantu Ibu
dan mengurus rumah. Aku dan Kamal, adikku, menghabiskan waktu dengan sekolah
dan bermain di pantai.
Saat
ini, Kamal baru lulus SMK. Entah dia akan lanjut ke mana, tapi intinya aku
dan Kamal sebagai sesama anak lelaki merasa punya tanggung jawab besar untuk
meningkatkan derajat keluarga. Maka aku yakin pasti dia juga berusaha maksimal.
Ayah, Ibu, nantikan kesuksesan kami!
Pelabuhan
Belawan, 2005
Dari
hasil pekerjaanku sebagai juru mudi kapal dan tabunganku, aku bisa membeli
telepon genggam. Sambil tersenyum bangga, aku bolak-balik melihat telepon
genggam baruku dan uang yang telah kukumpulkan selama ini. Tahun depan, ketika
uangku (semoga) jauh lebih banyak, mungkin aku akan pulang ke Pangandaran. Biaya
ke sana cukup berat, euy! Lebih baik terus di sini menunggu kesempatan
lain untuk pulang kampung.
Di
sela-sela pekerjaanku sebagai juru mudi, sering kali aku bergurau
dengan teman-teman awak kapal.
“Mas
ndak pulang kampung?” tanya Cahyo, salah satu rekan yang dekat denganku
selain karena memang sefrekuensi, dia juga orang Pangandaran.
Pangandaran-Surabaya sebenarnya, dan dia lebih lama tinggal di Surabaya. Dia
awak baru di sini, belum terbiasa dengan logat Melayu. Cengkok dan sedikit
bahasa Jawa-nya
masih sering muncul.
“Nanti
setelah sukses,” jawabku singkat, disusul dengan tawa kecil.
“Kamal
itu adikmu,
bukan, Mas?” tanyanya lagi.
Aku
mengernyit. “Dari mana kau tahu?”
Cahyo
terkekeh. “Lho, Kamal iku temanku sewaktu SD, Mas. Panjang umur kemarin
kami ketemu di Pangandaran. Dia hebat juga, ya!”
“Oh?
Dia kerja apa sekarang?” tanyaku penasaran. Aku saja tidak tahu kabarnya selama
dua tahun ini.
Cahyo
agak bingung karena aku sendiri malah belum tahu kabarnya. “Telepon langsung
saja, Mas, ini nomornya,” ujarnya sambil
menyodorkan padaku secarik kertas yang disimpan di sakunya. Setelah itu, aku
ditinggalnya sendiri karena dia ada tugas.
Sempat
ragu diriku, apa benar ini nomornya Kamal? Berarti dia juga sudah punya
telepon? Aku saja baru bisa beli telepon genggam sekarang. Lalu, dia masih di
Pangandaran ...
atau jangan-jangan Cahyo
hanya bercanda dan menipuku?
Sebelum
menelepon, kuputuskan untuk meng-SMS dahulu nomornya. Jawaban yang kupikirkan
adalah semacam “Maaf, Anda salah nomor” atau sebagainya, tapi inilah pesan yang
kudapat:
[ Iya ini Kamal, A. Aa bagaimana kabarnya? Sempatkah
utk telp? ]
Aku
tertegun sesaat. Tanganku seakan membeku. Maka malam itu, aku berbincang dengan
Kamal selama beberapa menit. Aku begitu terharu saat mendengar suaranya lagi
setelah setahun. Kudengar suara Ayah dan Ibu menumpang bicara di telepon milik
Kamal. Ya, mereka masih tinggal serumah. Namun,
keadaan sudah cukup berubah gara-gara Kamal. Bisa tebak apa pekerjaannya
sekarang?
“Kami
sekarang punya warung, A,”
ujarnya.
“Warung?”
“Aku
mencoba bisnis dari hasil ikan laut. Biasanya kan Ibu langsung jual ke pasar
atau ke lelang, nah,
sekarang téh kita sendiri yang olah. Lumayan,kita juga sudah ada tiga karyawan.”
Aku
terhenyak. Kamal memang punya bakat bisnis. Dia juga suka memasak, tapi diam-diam karena
malu kalau ketahuan teman-temannya. Nanti dibilang “Laki-laki kok hobinya
masak!” atau semacamnya,
padahal menurutku tidak
ada salahnya juga.
“Tiga
karyawan? Itu sih rumah makan!” komentarku.
Terdengar
tawa renyah dari sana lalu
dialog terputus sementara. Timbul dari keheningan, Kamal bertanya, “Aa, kapan
pulang?”
Aku
terdiam sejenak. Aku baru saja menyia-nyiakan waktu senggangku, bukannya pulang
ke rumah, padahal
sejujurnya aku kangen juga apalagi
kini mengetahui kabar mereka di sana. Ingin sekali melihat langsung rumah makan
kecil keluargaku. Namun,
aku memang telah berjanji
hanya akan kembali setelah sukses, dan itulah jawabanku.
Entah
perasaan apa ini, aku tak mungkin iri pada adikku sendiri. Kupikir, akulah yang akan
pertama kali menunjukkan keberhasilanku pada orang tuaku, ternyata Kamal
berhasil mendahuluiku. Ah,
kujadikan saja ini motivasiku untuk lebih sukses daripada dia.
Lucu
juga setelah diingat-ingat, kalau aku sekeluarga hidup bergantung pada laut. Meskipun
kita terpisah olehnya, setiap kali aku merasakan embusan anginnya dan baunya
yang asin, aku selalu teringat mereka,
dan setiap hari yang
kulalui bersama lautan menenggelamkanku pada kerinduan.
Pelabuhan
Belawan, 2006
Suatu
hari yang cerah di bulan Juli. Di ruang kemudi, aku bekerja dengan semangat karena
seminggu lagi akan ada libur yang agak panjang. Kurasa, ini momen yang pas
untukku pulang ke Pangandaran. Aku sudah kangen sekali dengan keluargaku. Meskipun
sering telepon dengan Kamal, rasanya kurang bila tidak bertemu langsung.
Tiba-tiba
Cahyo menghampiriku dengan panik.
“Mas,
Mas! Ada
berita buruk, Mas! Pangandaran
kena tsunami!”
ucapnya dengan suara bergetar.
“Innalillahi ….”
Aku
langsung menelepon Kamal. Tidak ada jawaban darinya. Rekan-rekan kerjaku turut
prihatin, mereka semua bertanya bagaimana kondisi keluargaku dan Cahyo, tapi
kami sama-sama belum mendapat kabar.
Semua
mendadak terasa suram. Hari tidak lagi cerah. Matahari tidak bersinar hangat,
tapi bersinar terik tajam menyiksa. Ombak lautan terlihat ganas, setiap
geraknya mengingatkanku pada tsunami. Ceracau burung-burung laut seperti
pertanda buruk. Namun, aku
mencoba tetap tenang. Semoga keluargaku tidak apa-apa. Semoga mereka selamat,
Ya Allah …!
“Lokasinya
pas dengan kampungku. Mungkin
tidak sih,
Mas, orang lolos dari tsunami?” gumam Cahyo pesimis.
“Tidak
ada yang tak mungkin jika sudah takdir-Nya,” ujarku mencoba menenangkan, meskipun sebenarnya hatiku juga sama
kacaunya. Segala perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Kaget, sedih, tidak
percaya, menyesal …, pasrah.
Malam
harinya, aku mendapat telepon dari Kamal. Mendadak
secercah cahaya muncul di dalam hatiku. Cepat aku menjawab panggilannya dengan
semangat, berharap yang ia katakan adalah “Tadi ada tsunami, A, tapi
Alhamdulillah kami tidak apa-apa” atau
semacam itu. Sayangnya,
kabar yang kudapat tidak
sesuai dengan ekspektasiku. Aku tak sanggup menuliskannya. Suara Kamal … benar-benar tak
karuan. Tangis dan kesalku berpadu menjadi satu.
Kamal
memang selamat, tapi keluargaku yang lain tidak.
“Maafkan
Kamal tidak
mampu menjaga mereka, A ….”
Tidak!
Bukan Kamal yang salah. Pikiran untuk menyalahkan Kamal bahkan tak sedikit pun terbesit dalam hatiku.
Di
sinilah aku membenci laut.
Yang sudah kuanggap
sahabat dan keluargaku selama ini, kemudian berkhianat begitu saja. Merampas
semuanya dariku, tiga orang yang paling kucintai. Orang-orang yang menjadikanku
bisa sampai seperti ini. Orang-orang yang selalu dalam pikiranku sepanjang
hari. Merekalah yang menjadikan semangatku bekerja. Untuk merekalah aku sukses.
Sulit
rasanya memercayai ini. Ingin sekali menghibur hati bahwa mereka masih hidup,
Kamal hanya bercanda, tsunami tidak sungguhan terjadi. Namun, itulah kenyataannya, dan kini aku tetap harus
menunggu seminggu lagi untuk pulang ke Pangandaran karena kapal ini baru akan
tiba di daratan sekitar 7 hari lagi.
Dalam
suram kelabu, dengan
suara mesinnya yang menderu, kapal
terus melaju melewati ombak yang berliku. Makin
angin mendesau, makin hatiku risau,
menunggu 7 hari lagi yang begitu lama berlalu. Waktu
seakan-akan membeku, mengabadikan
diriku yang kacau, lidahku yang kelu untuk mengadu kepada siapa pun itu. Irama arus
yang merdu, beradu dengan tangisan malu.
Malu pada diri sendiri
yang begitu dungu.
***
Beberapa
hari berlalu dan aku harus menelan kenyataan menyakitkan bahwa Ayah, Ibu, dan
Teh Iyah sudah tiada. Jenazah mereka sudah dikuburkan dan aku bahkan tidak
datang untuk melihat. Setiap detik, aku hanya terus-terusan merutuki kebodohan
diriku.
Malam
ini, aku menelepon Kamal lagi. Dia juga sangat terpuruk, tapi masih sempat
menanyakan keadaanku. Harusnya, akulah yang menanyakan keadaannya. Namun, aku tidak dapat mengendalikan emosi
lagi saat aku berkata padanya bahwa ini pelayaran terakhirku. Setelah
ini, aku akan menjauhi laut
selamanya.
“Lalu
apa yang ingin kaulakukan? Mencari pekerjaan lain dan membuang ingatan tentang
laut? Justru aku yang tersinggung karena itu berarti kau membuang segala
kenangan indah masa kecil kita sebagai anak pantai,” ujarnya.
Perkataannya
ada benarnya juga, tetapi
aku menyangkal. Kalau aku melihat laut, malah aku terus-terusan larut dalam kesedihan.
Dia malah membalas, “Apakah dengan melupakan laut kau terjamin bahagia? Tidak
juga. Mana keberanianmu yang dulu? Mana semangatmu yang menggebu ketika melihat
luasnya dunia?”
“Bukankah
kau juga seharusnya sedih? Kau seharusnya punya empati sedikit,” balasku dengan nada
tajam. Aku tak suka kesan omongannya yang seakan-akan dia tidak apa-apa. Begitu sifatnya
sejak kecil.
Selalu memendam apa pun
sendiri. Terkesan
sebagai orang paling kuat, padahal dirinya rapuh.
“Ya—”
Dia berhenti sesaat.
Suaranya bergetar. Aku bisa merasakan tangisannya yang bisu.
“Laut
menghidupi keluarga kita, laut juga yang merenggut mereka. Ini bukan tentang
laut, tapi tentang seberapa besar kuasa Tuhan yang mampu menghidupkan dan
mematikan. Dia jugalah yang menciptakan laut, membuatnya pasang dan surut, dan
apa pun
yang terjadi pasti sudah dalam kehendak-Nya.”
Bukannya
samudra yang begitu luas menjadi rintangan bagi siapa saja untuk melewatinya?
Memisah berjuta pulau yang ada dan milyaran manusia yang tersebar di muka Bumi.
Akan tetapi, dia justru
melihat dari perspektif yang berbeda. Dia melihat samudra sebagai
penghubung—menghubungkan pulau-pulau yang ada dan membuat ragam budaya yang
beragam, menghubungkan komunikasi dengan kabel-kabel di dasarnya, menghubungkan
waktu sebagai saksi bisu jejak sejarah di Bumi.
“Laut
yang menghubungkan kita,
meskipun kita ada di pantai yang berbeda,
bahkan kita bisa teleponan sekarang mungkin
karena ada kabel di dasar laut,” ujar Kamal lalu ia terhenti sejenak.
“Aku
paham perasaanmu,
A, tapi tolong jangan membenci lautan ….”
Kini aku menangis sejadi-jadinya. Sambil
bersandar pada dinding kapal, aku membiarkan air mataku jatuh dan menyatu
dengan laut. Kamal pasti tidak berniat, tapi itu seperti sindiran bagiku. Laut
memang tak salah, aku yang salah. Aku yang salah karena terlalu ambisi mencari
uang sampai lupa dengan kampung. Memang, jarak dan pulau yang berbeda menjadi salah
satu tantangan bagiku untuk pulang kampung, tetapi kalau aku niat menemui keluargaku, sebenarnya bisa saja.
“Terima kasih, Kamal, sudah menyadarkan Aa.”
Cahyo datang menyodorkan sepotong kertas kepadaku. “Mas, ini juga dari Kamal. Maaf lupa ngasih kemarin,” ujarnya. Tanpa mengetahui bahwa aku usai menangis, dia menyerahkannya kepadaku dan pergi begitu saja.
Kubuka kertas itu, ternyata isinya adalah
sebuah puisi.
Wahai
engkau yang begitu luas
Namun
tetap tunduk pada yang Maha Luas
Yang
memisahkan lempengan benua raksasa
Sekaligus
menyatukan pulau-pulau yang ada
Yang
mengantar kami ke mana saja
Tak
satu pun
tempat di luar jangkauannya
Yang
menyimpan berjuta rahasia
Menjaganya
dalam kepekatan nirmala
Yang
menciptakan hujan yang berderai
Rintiknya
bersahutan dalam harmoni
Alunan
ombaknya yang selalu berirama
Selaras
dengan pesonanya yang pancarona
Ramahnya
dalam bertoleransi
Tarian
riaknya yang kami kagumi
Menghidupi
makhluk yang beraneka
Hidup
bersama dalam harsa
Duhai
Sang Penghubung,
Yang
terbentang menyelimuti hamparan Bumi
Sejauh
pandang meliputi harapan kami
Yang
memberi kami beragam rasa
Seperti
aku yang merindumu dalam aksa
TAMAT
Meghan Alesha adalah gadis yang lahir pada 27 Januari 2009. Saat ini, ia tengah bersekolah di SMPN 3 Depok kelas 9. Ia suka menulis novel dan karyanya pernah diterbitkan sekali oleh KKPK. Naskahnya yang lain masih dalam proses pengiriman. Saat ini, ia mulai melirik ajang-ajang menulis untuk melatih kemampuannya.
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.