Puisi-puisi Alan Reis

Seorang Psikiater bernama Viktor E. Frankl percaya bahwa ada tiga cara dalam pencarian makna hidup, yaitu melalui tindakan, cinta dan penderitaan. Alan Reis mengajak kita mencari makna hidup melalui bait-bait puisinya.

Melihat Takdir yang Digenggam

Suara lirih yang memberiku tongkat tua
Masih memarahiku menjadi suara menggema
Khalisnya mengangkatku dari ketidakberdayaan
Mewasiatkan untuk meraih cahaya-Nya

Seonggok hati mulai tabah
Seperti membaca kitab kuning yang gundul
Meresapi pada akar yang menafsirkan hayat
Mulai berkhasidah meski masih bimbang

Setelah disadarkan, aku merayu Tuhan
Tanpa mengkultuskan kemelut rahsa
Jiwa belajar bijak ‘tuk menerka makna
Lalu aku mentakwil dengan membuka tabir

Ada percakapan yang membekas dalam jiwa
Seperti tanda di tengah piring yang semula kosong
Lalu, ada rasa gandum dalam secangkir kopi
Yang sedari tadi tumpah ke kalimat do’a

Dan aku mulai membaca makna tafsir yang tersirat
Kala berbeda ucap, akan berbeda arti
Seperti abjad tanpa syakal yang entah itu kasroh atau sukun
Akupun meraba pada diri barangkali ada peta

Lalu aku buka ‘tuk membaca kontur dari setiap garisnya
Mencari jalur dimana makna hakikat hidup yang sebenarnya
Tentunya mencari jalan yang selalu terhubung kepada-Nya
Yang diri ini mempunyai saklar tersendiri dalam menentukan kebahagiaan

Meraih Restu dari Pemilik Takdir

Saklar kebahagiaan akan menuntun raga kala melangkah
Menjadi penerang dalam jalan lurus beronak terjal
Menuju restu Sang Penggenggam Takdir
Mengikuti semesta bertasbih memutar usia
Mengalunkan asma-Nya dengan syahdu

Peta dalam diri menjadi kompas yang memakzulkan sesat
Hanya jalan yang tersinari setitik cahayaloka; yang jarumnya menunjuk arah kebenaran
Lalu saling membersihkan dan memurnikan
Di mana nurani dari pemberi restu itu berdiam

Tujuan itu akan menuntun kala menghadap wajah-Nya
Dengan segenap harap tujuan itu dibenahi menjadi ruang penyembuhan dengan membebat sakit
Yang berjejer botol penawar hati; yang sedang terluka

Inilah kehidupan dalam ruang kelana
Yang tak punya tujuan, ia akan terjebak di dunia fana ini
Hatinya menjelma al-wahn, cinta dunia dan takut mati
Betah berlama-lama seolah akan hidup abadi
Tersiksa oleh cintanya sendiri, cinta yang sementara cinta pada yang akan sirna

"Ya Rabb…
Jauhkan hamba dari rasa cinta yang tak perlu
Cinta pada keindahan fatamorgana yang dibungkus kesenangan palsu

Ya Rabb…
Tuntunlah hamba pada jalan cahaya terang-Mu
Jalan yang mengekang hawa nafsu; yang sarat akan pembangkangan kepada-Mu

Ya Rabb…
Hamba lemah di hadapan-Mu yang tiada daya dan upaya selain kekuatan-Mu
Hamba menghadap-Mu, semoga engkau tak memalingkan wajah-Mu kepada hamba yang tak berdaya ini"

Jelajah Muntaha

Lantas do’a membawaku berotasi pada poros hukum yang absolut
Sanubari diperjalankan menuju bentangan sabda-Nya
Menyingkap kesahihan yang terlihat bayang tanpa lahir
Di sana aku mendengar gemericik syurga
Terdengar merdu menjernihkan pendengaran

Diajaknya aku menuju sungai-sungai keharmonisan
Yang mengalir dengan begitu ramah
Lalu aku meneguk ikhtisar dari matanya
Dan aku menyelaminya
Barangkali masih ada tangis yang tertinggal

Selepas pagi, ada yang menjemputku untuk meraba hutan
Mendengar siulan burung yang berkicau pada gendang hati
Melihat ranting pepohonan yang menikam ruang talarku
Dan bermain petak umpet bersama dedaunan yang berguguran

Kala tengah hari ada yang menarikku ‘tuk mendaki gunung
Melunakkan bebatuan yang sedari tadi hendak melukaiku
Lalu rahsa mengusap seberinda hati dengan ketegaran
Menyapu tembelang di setapak jalan yang hendak kau jelajahi

Manakala senja datang, ada yang memboncengku menuju tengah kota
Katanya ada susu jahe pakai telor untuk penambah stamina
Lalu aku meminum dengan seteguk busungan dada
Untuk berjaga-jaga kala kawan yang bernama malam tiba

Menuju akhir hari ada yang menuntunku ke tempat peribadatan
Kembali menemui do’a yang ku tinggalkan di tepi sungai
Bercengkerama dengannya ‘tuk berdialog dengan Sang Maha Tunggal
Lalu aku bersila dalam kepasrahan penuh sadrah
Bahwa Engkaulah selain Maha Tunggal juga meliputi keindahan dari seantero ciptaan-Mu

Refleksi kepada Tingkah

Selepas bermandikan luka
Lalu aku menyeka dengan keringat yang mengatung
Aku tertangkap hening yang mendesing
Pada balik dinding fikiranku terpaku pada hingar-bingarnya lelakon

Membaca bait hati, menyigi air jiwa

Kendi-kendi sajak mendinginkan tulang yang kemarau
Lalu menjadi pelepas rindu yang tlah lama gersang

Sketsa tingkah terlihat rumit
Imajinasi lelah terkapar
Ruang rasa tergeletak di atas dipan berdebu
Aku pun meminum sajak-sajak itu
Membasahi batang leher yang tandus
Lunglai dan debaran di dalam dada mengamuk

Lantas,
Ada apa di luar dinding hati
Terlihat begitu merah
Setelah sepekan lalu terusik oleh hasrat
Banyak jiwa-jiwa yang terpenjara rasa sakit
Dan perasan air mata menjelaskan duka yang mendalam

Aku kehilangan kata
Seolah huruf terkubur di dalam tanah yang hitam
Lantas dosakah diri ini membiarkan mandala tempatku berdiam merana
Yang sudah renta namun masih saja tersiksa

“Aku melupakan amanat Tuhan, yang di mana aku sanggup memikulnya untuk menjadi khalifah
Dan aku lalai dalam menjalankan tugas dari-Nya
Sementara gunung yang kokoh, hutan yang lebat dan laut yang terhampar menolak karena beban ini amatlah berat”

Aku pun seperti seonggok nama tanpa makna
Yang tak berdaya menjaga titipan Tuhan
Lalu aku terjebak pada perasaan yang kusut
Berharap akan terurai dan tulang punggung kembali tegak

Fitrah Diri

Dalam setiap perjalanan
Ketika menemukan aral yang melintang
Lalu curamnya medan perantauan
Yang terkadang membuat jiwa insani hilang
Aku kembali menjadi manusia

Saat berjalan,
Kadang aku menjadi api
Yang tidak bisa padam menjadi semilir angin
Kadang kala menjadi air bah
Yang tidak bisa surut menjadi tempat berteduh

Lalu,
Kadang aku bisa menjelma malaikat yang sekali berdo’a terkabul tanpa perantara
Kadang pula aku menjadi iblis yang melakukan banyak dosa dengan wajah tak bersalah

Dan,
Aku tetaplah aku yang dilahirkan sebagai manusia
Punya api juga punya air
Di mana relung hati bekerja adalah saat diri merasa penuh lumpur dosa
Di saat itu pula tak henti berdo’a memohon ampunan kepada Sang Pemilik hati

“Aku bersujud menyembah-Nya
Menengadahkan ‘tuk menerima cahaya kepada relung hati
Yang menjadikanku manusia dalam lika-liku tingkah laku”

Bionarasi Penulis

Alan Reis nama pena dari Alan Giovanni, lahir di Bandung dan telah menempuh pendidikan sebagai berikut:

  • SDN. Sirnagalih Ngamprah
  • MTS di Ma'had Baitul Arqom Al-Islami Ciparay
  • MAK di Ponpes Al-Basyariyah Cigondewah
  • Unisba Fakultas Tarbiyah.

Aktivitas sehari-hari saat ini adalah berwirausaha, mengikuti kajian keagamaan di Majelis Al-Madani, dan sedang menggeluti dunia literasi untuk menambah wawasan dan relasi.

1 Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.

Posting Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.