Mentari belum juga meninggi saat kamu memasuki halaman cafe ini. Seorang pria dengan kemeja putih, celana panjang hitam, dan apron hitam mendekatimu. Pria itu berbicara sopan padamu, beberapa kali dia menangkupkan kedua tangan di depan dada. Tak berbeda dengan kamu, beberapa kali kamu pun menangkupkan kedua tangan dengan tatapan memohon. Dia tampak berpikir sejenak, lalu dia menggerakkan kedua tangannya seakan memberi tanda untukmu menunggu. Dengan tergesa dia masuk ke dalam gedung berarsitektur vintage tersebut.
Tak berselang lama, pria dengan apron hitam itu keluar mendekatimu diikuti seorang wanita muda. Wanita dengan rambut hitam sebahu itu, tersenyum ramah padamu.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu seraya tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Maaf, saya tahu cafe ini belum buka, tapi izinkan saya duduk di kursi ujung sana dari sekarang," jawabmu seraya menunjuk satu meja bundar yang berada di bawah pohon tabebuya berbunga kuning.
Pandangan wanita itu mengikuti arah telunjukmu. Dia diam sesaat, lalu kembali menatapmu.
"Maaf, jika tidak berkeberatan, boleh tahu alasannya?"
Kamu menghela napas.
"Maaf, maaf, bukan maksud saya bersikap tidak sopan." Wanita itu menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Cafe ini belum waktunya buka, jika saya mengizinkan anda duduk di sini sebelum waktunya, berarti saya melanggar peraturan. Namun, Jika saya tahu alasannya mungkin bisa menjadi pertimbangan saya," lanjutnya menjelaskan.
Kamu mengangguk mendengar penjelasan wanita itu.
"Begini–." Kamu mulai bercerita. "Dua tahun lalu, saya bertemu seorang gadis di cafe ini, tepatnya di bangku Itu." Matamu menunjuk bangku di bawah pohon tabebuya berbunga kuning."
***
Kamu mengedarkan pandangan ke setiap sudut cafe, tak satu pun kursi kosong yang kamu temukan. Malam minggu, hal yang mustahil mendapatkan tempat duduk di cafe ini. Kamu membalikkan badan, melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Sesaat langkahmu terhenti, kembali kamu membalikkan badan. Tatapanmu berhenti pada satu sudut taman cafe. Di bawah sebuah pohon tabebuya, seorang gadis duduk, tenggelam dalam buku bacaan.
Entah apa yang membuatmu tertarik hingga melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Langkahmu terhenti tepat di hadapan gadis itu. Sepertinya kamu menunggu gadis itu menyadari kehadiranmu, tapi nyatanya setelah beberapa saat, gadis itu tetap tenggelam dalam dunianya.
"Ehem." Kamu berdehem.
Gadis itu mengangkat wajahnya, lantas menatapmu dengan pandangan penuh tanya.
"Maaf, mengganggu. Boleh saya ikut duduk di sini? Semua kursi penuh, sedangkan meja ini–." Kamu menjeda ucapanmu.
"Hanya diisi satu mahkluk," timpal gadis itu seraya tersenyum ramah padamu.
Kamu tersenyum canggung mendengar ucapannya.
"Silakan." Gadis itu menunjuk kursi kosong di hadapannya. Kemudian dia kembali tenggelam dalam bacaannya.
Kamu pun duduk pada kursi kosong di hadapan gadis Itu. Sesaat kamu pun tenggelam dalam pekerjaanmu, hingga satu masa, kamu diam-diam memperhatikan gadis itu. Rambutnya yang hitam dibiarkannya tergerai, sebuah jepit rambut berbentuk buah apel menghiasi satu sisi rambutnya. Dan saat itu kamu menyadari sesuatu.
"Eh."
Gadis itu mendongak, menatapmu.
"Maaf, tapi saya baru sadar, sepertinya kamu pecinta buah ape, ya?"
Gadis itu tersenyum ramah memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Darimana datangnya simpulan itu?" tanya gadis berlesung pipi itu seraya menutup buku bacaanya, lalu meletakkannya di atas meja.
"Jepit rambut, casing ponsel, pun casing tablet. Tunggu, gantungan kunci, anting juga, dan pesananmu ini pai apel, serta teh apel, 'kan?"
Gadis dengan mata bening itu tertawa renyah.
"Pengamatan yang keren." Dia bertepuk tangan. "Kenalkan, namaku Elma, dalam Bahasa Turki, berarti buah apel." Dia mengulurkan tangannya.
"Wow!" Dengan takjub kamu menyambut uluran tangannya. "Rey."
Seketika, tak ada tirai di antara kalian. Obrolan mengalir dengan sendirinya, gelak tawa memenuhi sudut cafe, seakan kalian teman lama yang berjumpa kembali setelah sekian waktu berpisah. Bercerita tentang segala hal, termasuk alasan kecintaan Elma pada buah apel.
"Bukan hanya karena namaku yang memiliki arti apel, hingga aku menyukai segala hal yang berhubungan dengan apel. Pun, apel memiliki filosofi yang luar biasa untukku. Apel adalah lambang cinta. Kamu tahu? Kulit apel itu tipis dan rapuh, tapi buahnya sangat kuat. Begitu pun cinta, serapuh apa pun di luar, jika di hati cinta itu begitu kuat, maka tak akan ada satu pun hal yang mampu menghancurkannya," ujar Elma menjelaskan alasan kecintaannya pada apel.
Dan, pertemuan demi pertemuan kembali terjadi di antara kalian. Di tempat yang sama, sudut kanan cafe, di bawah pohon tabebuya yang terkadang dipenuhi bunga berwarna kuning, dan tak jarang hanya dipenuhi dedaunan hijau. Tak tertinggal, camilan berbahan dasar apel menjadi teman canda tawa kalian. Hingga, pada suatu senja, saat lembayung menguasai barat cakrawala, Elma membawa kabar yang membuatmu tertegun.
"Aku berangkat lusa. Ayah ingin aku segera menyelesaikan studiku." Elma menundukkan wajahnya.
Entah apa yang berkecamuk dalam benakmu. Kamu hanya diam seraya mengaduk-aduk gelas berisi es capucino.
Suasana terasa kelabu. Kalian diam tenggelam dalam rasa masing-masing.
"Baiklah." Kamu memecah keheningan. "Semoga kamu sukses."
Mata bening itu berkaca-kaca menatapmu.
"Terima kasih," jawab Elma lirih. "Maaf, kita juga tidak bisa berkomunikasi melalui media apa pun lagi, Ayah ingin aku konsentrasi penuh pada studiku."
"Iya, aku paham." Kamu mengangguk pelan.
"Aku tak bisa berjanji, tapi jika takdir memilih kita, kita pasti bisa bertemu lagi. Di sini, di bawah pohon tabebuya tentunya saat dia berbunga, dan pastinya dengan sekeranjang apel sebagai buah tangan. Mungkin tahun depan, mungkin dua tahun yang akan datang, tentunya di waktu yang tepat."
***
"Kisah yang menyedihkan," ucap wanita pemilik cafe itu usai mendengar kisahmu.
Kamu tersenyum. "Begitulah, bulan April kemarin, saya juga datang ke sini, tapi rupanya takdir belum memilih kami. Bulan September ini, saya coba peruntungan saya. Jika kali ini takdir memilih kami, bisakah saya meminta bantuanmu?"
"Apa?"
"Pie apel spesial untuk Elma dan sekeranjang apel."
Wanita pemilik cafe itu tersenyum dan mengangguk. Lantas dia pergi meninggalkanmu. Sedangkan kamu, duduk menyandarkan punggung pada sandaran kursi, menatap lurus pada gerbang masuk cafe.
Mentari terus beranjak, hiruk pikuk mulai mewarnai cafe. Cafe vintage dengan menu andalan segala hidangan berbahan dasar apel ini, sangat hidup, pengunjung datang silih berganti. Sayang, jangankan sosok Elma, siluetnya pun belum juga tampak.
Hingga, saat semburat jingga malu-malu menguasai cakrawala. Satu siluet menarik perhatianmu. Perlahan siluet tersebut mendekatimu dan menjelma satu wujud yang kamu tunggu. Elma.
Kala takdir memilih, maka janji menjadi nyata. Senyum mengembang di bibir kalian. Secerah apel merah.
TAMAT
Catatan:
"Janji" karya Niar Kurnia Eka Gunawati atau lebih dikenal dengan nama pena Ninava Fadel adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 2 - 8 Juli 2023.
Tentang Penulis:
Ninava Fadel, dikenal juga dengan Niar Kurnia Eka Gunawati.
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.