Di sebuah desa yang terletak tak jauh dari kota, lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Aisyah Azzahra. Dia lahir tanpa seorang ayah. Ayahnya meninggal tujuh bulan sebelum Aisyah lahir hingga akhirnya, lima belas tahun kemudian, Aisyah yang selama ini dirawat oleh ibunya sekarang mulai mengerti arti seorang ayah, dia sudah beranjak remaja. Dia dikenal sebagai orang yang murah senyum dan selalu ceria. Apa pun masalah yang dihadapi, dia tetap tersenyum. Dia tumbuh menjadi wanita yang cantik dan pintar, yang selalu mendapat prestasi di sekolahnya.

Pagi ini, sungguh terasa sunyi, meskipun matahari begitu cerah. Tak terdengar lagi suara Aisyah yang selalu ceria. Tak seperti biasanya, Aisyah terlihat sangat gelisah. Wajahnya begitu kusam seakan-akan menyimpan begitu banyak kesedihan. Sungguh ada yang aneh dari Aisyah. Dia duduk termenung tepat di dekat lorong sekolah, suasana yang sunyi menyelimuti Aisyah yang sedang sendirian.

Tak lama datanglah sahabatnya yang bernama Liza. Dia kebingungan saat melihat Aisyah yang tidak pernah terlihat gelisah dan dikenal sebagai orang yang selalu ceria bersikap seperti itu. Raut wajah Aisyah mengisyaratkan hal yang membuat tanda tanya bagi Liza.

“Aisyah, kamu kenapa pagi-pagi sudah termenung seperti ini?” tanya Liza. Aisyah tidak berkata apa-apa. Dia hanya diam tanpa menghiraukan pertanyaan Liza.

Liza kembali bertanya, “Aisyah, kamu kenapa? Ditanya kok malah diam.” Aisyah hanya menatap Liza tanpa berkata apa pun. Tatapannya terlihat sangat menyedihkan. Liza kebingungan melihat sikap Aisyah yang tidak seperti biasanya.

“Aisyah, kamu kenapa? Di mana Aisyah yang biasanya selalu ceria? Kalau ada masalah cerita, jangan kamu pendam sendiri,” ujar Liza lagi. Aisyah menghela napas dalam-dalam.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari depan mereka.

“Itu siapa? Perasaan dari tadi tidak ada orang selain kita,” kata Liza ketakutan. Aisyah tidak menghiraukan kejadian itu .

“Woy!”sapa seseorang dengan nyaring.

“Oh, ternyata kamu, Dimas. Saya kira siapa,” kata Liza lega.

“Memangnya kamu kira saya siapa? Kok terlihat ketakutan begitu?” tanya Dimas heran.

“Ya, bagaimana lagi .... Aku kira tadi hantu,” jawab Liza sambil tertawa.

“Ih, kamu ini. Lagi pula bentar lagi bel masuk akan berbunyi, kalian tidak mau ke kelas?” tanya Dimas.

“Iya Dim, nanti kita langsung ke kelas kok,” jawab Liza. Liza masih bingung melihat sikap Aisyah.

“Aisyah, aku ini temanmu, kan? Jadi, kalau ada masalah, jangan kamu pendam sendiri,” ujar Liza.

“Aku bingung, Liza, memikirkan hal ini,” jawab Aisyah.

“Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Liza.

“Jadi, sebenarnya—” Ucapan Aisyah terhenti karena bel yang berbunyi. “Kalau begitu nanti saja aku ceritakan. Ayo, masuk ke kelas,” kata Aisyah. Begitu kecewanya Liza, bel masuk harus berbunyi sebelum Aisyah menceritakan apa yang dia pikirkan.

Sinar matahari yang terik mulai terasa panasnya, suara burung-burung berkicauan mulai terdengar dari jendela sekolah. Ternyata waktu sudah menunjukkan jam 11.30, pertanda waktu untuk pulang. Liza mengajak Aisyah untuk membeli makanan di kantin, tapi Aisyah seakan-akan tidak bernafsu untuk makan. Akhirnya, Liza mengajak Aisyah ke masjid dan membuka perbincangan tentang cerita tadi pagi yang sempat terhenti.

“Aisyah, aku tahu kamu sedang sedih karena itu aku mengajakmu ke sini,” ujar Liza.

“Iya, Liza, rasanya memang lebih tenang berada di sini,” kata Aisyah.

“Jujur aku penasaran, sebenarnya apa yang kamu pikirkan?” kata Liza.

“Sebenarnya, aku iri melihat semua orang bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Kamu tahu cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, sedangkan aku belum pernah melihat wajahnya ataupun mendengar suaranya,” kata Aisyah. Setelah mendengar perkataan Aisyah, perasaan Liza sangat sedih. Bagaimana tidak? Liza merasa seakan-akan ada di posisi Aisyah. Mungkin karena Liza sudah lama mengenal Aisyah dari kecil.

“Aisyah, kamu jangan sedih. Kamu itu orang yang kuat dan hebat,” ucap Liza.

“Iya, Liza, tapi entah mengapa aku begitu sedih. Perasaanku campur aduk,” ujar Aisyah.

“Aku tahu, tapi apa kamu akan terus seperti ini? Kamu juga masih memiliki seorang ibu.”

“Karena itu, Liza ... aku kasihan sama Ibu. Dia kerja banting tulang demi keluarganya. Mungkin kalau aku punya ayah, semua ini tidak akan terjadi. Aku juga ingin merasakan kasih sayangnya,” ucap Aisyah.

“Aisyah, kamu lupa, ya? Kamu pernah berkata bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya,” kata Liza yang berusaha menguatkan Aisyah. Aisyah terdiam mendengar perkataan Liza. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tak terasa air matanya jatuh mengingat semua yang dia rasakan. “Aisyah, aku yakin kamu bisa menghadapi semua ini.”

“Jujur saja, Liza, aku merasa menjadi beban bagi Ibu karena aku selalu meminta uang darinya. Aku masih belum bisa mandiri,” ujar Aisyah.

“Kamu jangan merasa seperti itu. Aku yakin, ibumu pasti bangga memiliki seorang putri sepertimu. Tetap semangat, Aisyah, kamu pasti bisa. Jangan seperti ini terus,” kata Liza .

“Iya, Liza, aku akan berusaha,” jawab Aisyah .

Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.30, Aisyah dan Liza mengakhiri perbincangan mereka. Dalam perjalanan pulang, Aisyah teringat ayahnya. Jalanan yang ramai terasa sepi baginya. Tak ada yang membuatnya kembali tersenyum, hatinya begitu sedih seakan-akan telah rapuh hancur tak tersisa.

“Aku tahu semua yang dikatakan Liza itu benar, tapi tetap saja hatiku gelisah,” gumam Aisyah. Di dekat toko mainan, Aisyah melihat sesuatu yang membuat dirinya terharu.

“Ayah, aku capek, tidak mau jalan lagi,” ucap seorang anak perempuan yang ada di sampingnya .

“Baiklah, kalau begitu. Tuan Putri Ayah mau digendong?” tanya sang Ayah sambil mengusap rambutnya .

“Iya, aku mau digendong Ayah,” jawabnya dengan manja. Melihat kejadian itu, Aisyah makin merindukan ayahnya. Di sepanjang perjalanan, Aisyah menundukkan kepalanya, seakan-akan tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Rasa rindu yang tak bisa dibendung terus saja menghantui pikirannya .

“Andai saja ada Ayah di sini, aku juga ingin merasakannya,” gumam Aisyah yang langkahnya begitu lambat dengan tatapan yang kosong hingga akhirnya Aisyah sampai di depan rumah. Aisyah tetap memikirkan ayahnya dia sungguh merindukannya. Sampai dia lupa untuk makan, padahal dia belum makan ataupun minum sejak pagi. Hal tersebut membuat dia lemas.  Aisyah duduk di ruang tamu sambil menatap foto pernikahan ibunya.

“Sampai sekarang aku bingung kenapa Ayah tidak pernah mau memajang fotonya.” Tanda tanya itu terlintas dalam pikirannya. Tak ada hal yang pernah membuat Aisyah sesedih ini hingga yang biasanya dia hadapi semua masalah dengan senyuman, kini tak bisa dia lakukan. Rumah yang biasanya riuh dengan suara Aisyah kini sunyi dan membawa kesedihan. Tak ada kata yang dia ucapkan, tapi ada beribu pertanyaan dalam pikirannya. Tanpa dia sadari, air matanya jatuh membasahi pipinya. Akhirnya, terdengar suara langkah kaki dari depan pintu, tak disangka itu ibu Aisyah, dia baru pulang bekerja. Ibu Aisyah kebingungan melihat putrinya yang biasanya ceria kini terdiam seperti sedang memikul beban yang begitu berat .

“Aisyah, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya ibu Aisyah yang sayangnya tidak mendapat tanggapan darinya. Ibu Aisyah mengulang pertanyaan yang sama hingga ke tiga kalinya . Ibu Aisyah sangat khawatir melihat keadaan putrinya.

“Aisyah, kamu kenapa? Kok lemas begini?” tanya Ibu Aisyah dengan wajah yang terlihat cemas.

“Aku hanya pusing saja kok, Bu,” jawab Aisyah.

“Apa mungkin kamu belum makan sesuatu dari pagi? Soalnya tadi pagi kamu langsung izin berangkat sekolah,” ujar ibu Aisyah memastikan.

“Tidak apa-apa, Bu, nanti pusingnya juga hilang,” ujar Aisyah. Ibu Aisyah sangat khawatir melihat keadaannya. Dia merawatnya sampai Aisyah sembuh, padahal dia baru saja selesai mandi setelah pulang kerja dari sawah.

“Nak, ini teh hangat dan obatnya, jangan lupa diminum ya!” perintah ibunya.

“Iya, Bu , nanti Aisyah minum,” jawab Aisyah.

“Kamu ini ..., ayo, biar cepat sembuh diminum obatnya!” perintah ibu Aisyah dengan tegas.

“Iya, Ibu, ini aku minum sekarang,” jawab Aisyah.

“Besok kamu tidak boleh berangkat sekolah kalau belum sarapan lagi,” ujar ibunya .

“Iya, aku akan sarapan dulu besok,” jawab Aisyah. Setelah berapa lama, keadaan Aisyah mulai membaik. Aisyah menatap ibunya, dia baru menyadari bahwa meskipun tidak memiliki seorang ayah, dia memiliki ibu yang sangat hebat dan selalu ingin membahagiakan anak-anaknya.

Dengan meneteskan air mata, Aisyah berkata dalam hatinya, “Aku lupa bahwa aku punya seorang ibu yang sekaligus berperan sebagai pengganti Ayah. Dia bahkan bekerja sampai tangannya sering melepuh, tanpa mengenal lelah dia merawatku hingga menjadi seperti ini tanpa bantuan dari seorang ayah. Aku tidak bisa seperti ini terus, aku harus melanjutkan hidup ini, apalagi perjalananku masih panjang. Mungkin memang ini takdir yang terbaik untukku.” Aisyah terharu melihat perhatiannya.

Akhirnya, Aisyah mulai menerima keadaannya. Dia kembali seperti dulu lagi. Liza senang saat melihat Aisyah yang sudah kembali tersenyum. “Nah, seperti ini dong. Kalau begini kan makin cantik,” puji Liza sambil tersenyum.

“Iya, Liza, sekarang aku sudah sadar bahwa aku masih memiliki seorang ibu yang sangat hebat,” jawab Aisyah.

“Alhamdulillah, kalau begitu, jangan sedih lagi ya. Aku tidak suka lihat kamu sedih,” ucap Liza.

“Terima kasih, Liza, kamu sudah menyemangatiku. Kamu memang teman terbaikku.” Aisyah langsung memeluk Liza.

“Aisyah, aku terharu. Tolong kalau ada masalah, jangan kamu pendam sendiri. Jangan lupa ada aku di sini,” kata Liza. Mereka memang sudah berteman sejak lama dan sekarang sudah sedekat ini.

“Ayah, aku memang sangat merindukanmu, tapi memang takdir tidak mempertemukan kita. Sekarang, aku berjanji untuk lebih fokus belajar agar bisa menggapai cita-cita. Ayah, kita bertemu di surga nanti, ya.” Janji Aisyah untuk ayahnya. Mungkin awalnya terasa sulit untuk menerima keadaan, tapi seiring berjalannya waktu, kita akan sadar bahwa masih banyak hal yang indah menunggu di sana .

 

Ayah, aku rindu

Di manakah engkau

Engkau telah pergi

Kini putrimu sudah besar

Detik ini aku merindukanmu

Dunia menjadi cerita sejak engkau kembali ke pangkuan-Nya

 

Wahai Ayah,

Kasih sayangmu sirna

Bolehkah aku meminta engkau kembali

Kadang aku berpikir mengapa engkau pergi tanpa bertemu denganku

Namamu selalu kusebut dalam doaku

Ayah, aku rindu

Rindu kasih sayangmu

 

TAMAT


Tentang Penulis:

Yatimatul Maulida, menjadi warga Saung Karsa dengan nama IMA. Berasal dari Jawa Timur dan tengah bersekolah di MA Al-Khoriyah, Penulis mempunyai hobi menulis, membaca, dan menyanyi.

Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.