Kata orang, sebuah cerpen harus memiliki masalah dan konflik, maka kali ini aku ingin membawa suatu masalah dan konflik yang telah kusaksikan dengan mataku semenjak puluhan tahun silam.

Lagi-lagi …, pagi ini aku melihat lagi mereka yang memang ada di setiap pagi yang berkabut dan dingin saat semua orang-orang sibuk dengan sarapan dan minuman hangat. Sosok-sosok inilah yang berseliweran di antara tumpukan dedaunan yang berserakan, timbunan kertas-kertas bekas atau sisa-sisa makanan basi yang tercecer di pinggiran jalanan.

Sebut saja salah satunya bernama Mas Parno atau yang lainnya bernama Mbak Lastri yang setiap pagi terlihat sigap menyeret sampah-sampah jalanan dengan gagang sapunya atau membersihkan pampers bekas, pembalut wanita yang telah kecoklatan, ataupun kondom-kondom bekas asmara semalam di taman.

Mas Parno dan Mbak Lastri telah berulang kali mengajukan nama mereka sebagai pegawai honorer di Dinas Kebersihan dan Tata Kota tempat mereka mengabdi semenjak lima belas tahun silam ketika Undang-Undang Omnibus Law belum diberlakukan. Setiap kali mereka mengajukan permohonan, maka setiap itu pula mereka ditolak dan hingga saat ini mereka tetaplah berstatus sebagai sukarelawan yang suka bekerja dan rela dibayar seadanya. Mereka seperti diabaikan atau seakan-akan tidak ada. Mungkin seperti angin yang menerbangkan sampah dedaunan atau mungkin juga bisa dianggap seperti sampah itu sendiri.

Aku pernah mengenal seorang pejabat berwenang yang katanya paham dan mengerti jalur, serta sebab-sebab diterima atau tidaknya seseorang menjadi pegawai honorer dengan gaji tetap, dan orang tersebut berkata bahwa yang menjadi penyebab Mas Parno dan Mbak Lastri tidak diterima atau belum diterima adalah karena masih banyak formasi lainnya yang lebih penting bagi daerah dan lebih diutamakan dibandingkan dengan pengelolaan sampah dan kebersihan, atau dengan kata lain bahwa pengelolaan sampah dan kebersihan bukanlah sesuatu yang penting bagi pemerintah kita.

Suatu hari, aku pernah menyaksikan seorang Kepala Dinas melimpahkan amarahnya dengan berkata-kata dan penyebabnya tidak lain adalah karena halaman kantornya kotor.

“Kalian ini ASN apa, hah? Meskipun tidak ada di tupoksi, tapi ini bentuk kesadaran dan loyalitas terhadap atasan!” Tegas sang Kepala Dinas dengan wajah memerah diluap amarah.  Mendengarnya, aku malah bertanya-tanya, bukankah menurut mereka pengelolaan sampah bukanlah hal yang penting? Lantas kenapa harus marah?

Aku juga pernah menyaksikan seorang Bupati memarahi bawahannya ketika apel pagi hari karena kotornya WC dan kamar mandi, serta tersumbatnya saluran-saluran pembuangan.

“Di mana kesadaran kita sebagai ASN jika kantor kita sendiri kotor dan jorok?” seru sang Bupati memecah keheningan suasana pagi di halaman Kantor Bupati ketika itu, padahal menurutku dia tidak perlu marah karena pengelolaan sampah dan kebersihan bukanlah hal yang penting bagi dia  pemerintah.

Menurutku, mereka adalah korban dan untuk melupakan mereka bukanlah hal yang mudah karena sepertinya tak akan habis ide dan imajinasi untuk melupakan mereka sebagaimana tak akan pula habis kalimat dan kata untuk menuliskannya.

Namun sebagian orang akan menghindar ketika membahas masalah mereka di meja-meja kantor, di teras-teras gedung pemerintahan atau di corong-corong mikrofon para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sangat jarang, bahkan hampir tidak satu pun dari para tokoh yang mau berbicara tentang mereka, padahal kita sendiri melihat berita-berita tentang tempat-tempat pembuangan akhir yang terbakar usai kita melihat lebih banyak berita-berita tentang tempat-tempat serupa yang telah lama penuh sesak dan tak layak lagi digunakan sebagai penampungan.

Sementara mata-mata mereka yang berkuasa malah tak pernah menoleh sedikit pun dan telinga-telinga mereka yang berwenang seakan-akan tersumbat oleh kata “tidak penting”-nya pengelolaan sampah dan kebersihan.

Aku melihat petugas TPA yang dulunya banyak, kini hanya tersisa dua orang. Sebut saja salah satunya bernama Pak Parsan,

“Kami butuh lebih banyak tambahan penghasilan, Mas. Anak-anak sudah pada besar, jelas butuh biaya makan lebih dan juga biaya sekolah. Gaji di TPA mana cukup? Lha, harga barang saja mahal, Mas,” ujar Pak Parsan ketika kucoba bertanya padanya di suatu senja yang merah oleh terbakarnya timbunan sampah.

Dan sampai detik, ini aku masih belum melupakan wajah-wajah itu. Mas Parno, Mbak Lastri, dan Pak Parsan hanyalah segelintir nama-nama dari sosok-sosok yang terabaikan di negeri ini. Mereka terabaikan bukan karena merugikan, bukan pula karena tak berguna. Bukan.

Malah sebaliknya, mereka terabaikan karena mereka selalu ada ketika kita butuh untuk bersih. Mereka selalu ada ketika kita butuh untuk menyingkirkan segala hal-hal yang menjijikkan. Aneh, bukan? Dibuang karena dibutuhkan dan dibutuhkan, tetapi dianggap tidak penting. Alangkah anehnya negeri ini.

Aku tidak butuh mendengar perbandingan kita dengan Belgia atau negeri-negeri maju lainnya. Tidak butuh karena untuk apa pula diperbandingkan jika memang dianggap “tidak penting”?

Sore ini, aku melihat tiga orang pasangan Capres dan Cawapres, berharap ada di antara ketiganya yang peduli dan mencoba untuk menganggap penting pengelolaan sampah dan kebersihan.  Namun, sekali lagi aku kecewa karena tak satu pun dari program-program mereka yang  mengarah pada hal yang “tidak penting” ini. Maka dari itu, untuk kesekian kalinya aku membenarkan tindakanku sejak puluhan tahun silam untuk tidak memilih siapa pun setiap kali pemilihan presiden, bahkan kini kusadari aku butuh untuk golput. Mengapa?

Karena bagiku suaraku adalah aspirasiku yang sangat berharga yang tidak akan pernah kuberikan seenaknya kepada siapa pun yang menganggap aku dan kami sebagai “hal yang tidak penting”.  Bagaimana seseorang bisa memilih jika dia benar-benar tak memiliki satu pun pilihan? Tentu saja nurani kita masih bisa membedakan tentang yang mana aspirasi dan yang mana paksaan.

Kata orang, tokoh dalam suatu kisah wajib untuk memiliki karakter namun bagaimana bisa para tokoh-tokoh negeri kita ini akan memiliki karakter jika ternyata mereka bukan benar-benar manusia? Jika mereka memang benar-benar manusia, pastilah mereka memiliki mood yang akan sangat terganggu diakibatkan pemandangan yang kotor dan jorok. Jika mereka benar-benar manusia, maka mereka pasti akan khawatir jika anak-anak mereka, cucu-cucu mereka, saudara-saudara mereka, atau tetangga-tetangga mereka terkena wabah akibat lingkungan yang kotor.

Jika mereka benar-benar manusia, tentu mereka akan peduli dengan nasib orang-orang yang rela mengorbankan waktunya untuk membersihkan lingkungan mereka dan mengelola sampah-sampah mereka.

Kata orang, sebuah cerpen haruslah memiliki dialog dan kupikir sepertinya sulit untuk menciptakan suatu dialog apa pun dengan pihak yang menganggap lawan bicaranya “tidak penting”. Mungkin karena kegagalan membangun dialog inilah sehingga sore ini aku ingin menulis sepenggal puisi yang  tak kuharapkan agar ada yang peduli.


JIKA BENAR-BENAR MANUSIA

Karya : fakhrurrazi

 

Aku dengar para tuan calon raja berjanji, sejadi-jadinya,

suara mereka merdu mendayu, lantang melintang

dan coba kau punguti satu per satu, itu kata-kata tak satu pun

bahkan setengahnya tak peduli, pada kotoran negeri ini.

Padahal tempat penampungan sudah penuh berpeluh keluh,

sungai-sungai tersumbat hitam melimbah, gunung hijau pun lanut membusuk,

bahkan pinggiran jalan berjajar, sesak merangsak kantong-kantong keresek...

Hey Tuan! Jika ikan-ikan saja tak sanggup mengunyahnya

maka pohon-pohon pun takkan sanggup memakan plastik.

Jika kita benar-benar manusia, ingatlah...

Hanya sampah yang tak peduli pada sampah.

 

Poso, 11 Februari 2024

------------------------------------------------------

Kata orang sebuah kisah butuh solusi, tapi bagaimana bisa kita mendapatkan solusi jika yang berwenang memberi solusi malah tak peduli? Lagi pula puisi di atas bukanlah suatu solusi, kecuali hanya sebuah puisi yang meskipun “tidak penting”, setidaknya bisa memberi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan mereka yang menganggapku ekstrim karena tidak mau nyoblos. Semoga kelak ada jiwa-jiwa yang ikhlas, yang rela membersihkan kertas-kertas suara itu ketika menjadi sampah.

 

TAMAT


Tentang Penulis:

Fakhrurrazi M. Qasim, lahir di Poso pada tahun 1980 dan mengenyam pendidikan hingga SMA kelas 1 di Poso. Sejak SMP aktif di keorganisasian Muhammadiyah dan ketika kelas 3 SMP menjadi sekretaris BMPAN (Barisan Muda Partai Amanat Nasional) dan aktif dalam aksi dan demonstrasi hingga SMA, lalu aktif dalam kepramukaan ketika SMA. Pindah ke Palu, Sulteng, dan melanjutkan SMA di Palu. Kembali ke Poso dan menyelesaikan SMA di Poso. Masuk ke pondok pesantren di Surakarta, Jawa Tengah, dan pulang ke Poso lalu masuk kuliah di FISIPOL dan sekarang bekerja sebagai ASN di Poso.

Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.