"Aduh, sakitnya." Seekor buaya merintih di pinggir sungai.

Seekor anak gajah yang kebetulan lewat mendengar suara rintihan sang buaya dengan rasa iba. Perlahan-lahan dia mendatangi buaya dewasa itu.

"Aduuuh, sakit!" Lagi-lagi buaya itu merintih.

"Hai, Pak Buaya. Ada apakah gerangan denganmu?" Dia bertanya dengan wajah penasaran. "Apa ada yang sakit?"

"Ini ... gigiku." Sang buaya akhirnya menjawab juga.

"Ooo, jika Bapak tidak keberatan, aku ada obat sakit gigi," ujar anak gajah tulus.

"Benarkah?"

Buaya merasa senang sebab sudah tiga hari dia menahan rasa nyeri. Tidak ada seekor pun hewan yang mau membantunya. Meskipun ada yang datang melihat, mereka hanya sekadar lewat dan melirik lalu pergi begitu saja. Mendengar tawaran anak gajah, Pak Buaya tersenyum semringah.

"Benarkah ada obat seperti itu? Kalau ada cepat berikan padaku!" sahut buaya senang.

"Tentu saja. Ramuan ayahku terbukti ampuh mengobati sakit gigi seperti yang engkau rasakan. Tunggulah sejenak, aku akan membawakannya untuk Bapak."

Dengan senang hati, gajah kecil itu berlalu hendak mengambil obat yang dimaksud. Sementara sang buaya harap-harap cemas menunggu kehadiran anak gajah bersama dengan obat yang dijanjikannya.

"Ah, lama sekali dia mengambil obat. Jangan-jangan dia hendak mengelabuiku," gumam buaya sambil menahan sakitnya.

Dari balik semak, Pak Buaya mengamati keadaan sekitar. Barangkali yang ditunggunya telah datang.

"Aduh, sakit ...," erang buaya tak tahan.

Tak berapa lama ia menunggu, dirasakan tanah di sekitarnya bergetar. Hal itu disebabkan pijakan kaki anak gajah dengan larinya yang kencang. Melihat anak gajah telah datang, senanglah hati si buaya.

"Lama sekali kau mengambil obat. Aku sudah tak tahan lagi." Pak Buaya berteriak pada gajah kecil di hadapannya.

"Sabarlah, Pak Buaya. Beruntung ayahku mau memberikan ramuan ini untukmu," sahut si anak gajah kemudian.

"Ah, berisik! Cepat berikan padaku!" Buaya itu mulai terlihat watak aslinya.

Anak gajah yang baik hati itu pun dengan cekatan mengambil botol berisi ramuan ajaib yang dikalungkan di lehernya lalu memberikannya pada buaya.

"Apa ini benar obat sakit gigi? Kau tak berusaha meracuniku, kan?" tanya buaya dengan mimik curiga.

"Tenanglah, Pak. Obat ini aman. Ayahku membuatnya dari apel-apel terbaik yang ada di hutan ini," jelas anak gajah bangga.

Tanpa menunggu lama, buaya menegak sari buah apel itu tanpa sisa sehingga sakit yang telah berhari-hari dia rasakan sembuh seketika.

"Kau benar, Nak, ramuan ayahmu membuat gigiku terasa nyaman sekarang. Sebagai balas jasa atas pertolonganmu, aku akan memberimu imbalan," celetuk Pak Buaya pada si anak gajah.

"Tak perlu repot-repot, Pak. Aku ikhlas membantumu," jawabnya kemudian.

Namun, buaya yang telah menyusun siasat busuk itu tetap berusaha membujuk anak gajah untuk mendekat ke arahnya. Keramahan yang sedari tadi ditampakkan olehnya hanya sekadar cara untuk meraih simpati si anak gajah.

"Jangan sungkan, aku ingin sekali memberimu hadiah, kemarilah!" perintahnya lagi.

Gajah kecil itu pun mendekat tanpa menaruh curiga.

Dengan cekatan buaya menerkam anak gajah tanpa ampun. Dibuka mulutnya yang lebar dan mencengkeram dengan kuat si anak gajah.

Anak gajah itu pun menderum seraya memanggil ayahnya, meminta pertolongan.

"Ayah, tolong!" teriak anak gajah malang.

'Anaknya saja sudah sebesar ini. Jika ayahnya yang aku makan, pasti akan sangat mengenyangkan,' batin buaya tamak.

Belum sempat buaya menyantap anak gajah, tanah di sekelilingnya kembali bergetar. Kali ini getaran yang dirasakan jauh lebih kencang. Dalam hitungan detik, badannya terasa berat karena diinjak ayah gajah.

Buaya berteriak memohon ampun. Namun, ayah gajah yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan perlakuan sang buaya pada anaknya menjadi sangat geram dan ingin memberi pelajaran.

"Ampun, lepaskan aku! Aku janji tidak akan menyakiti anakmu," pekik sang buaya panik memohon ampun.

"Memaafkan buaya tak tahu terima kasih sepertimu? Jangan harap!" gertak ayah gajah masih disertai amarah.

"Sudah, Ayah, lepaskan Pak Buaya," pinta si anak gajah.

Namun, gajah dewasa itu tetap menginjak dan menendang buaya dengan murka. Buaya tamak itu akhirnya mati sebab tidak sanggup menahan serangan dari gajah yang berukuran dua kali tubuhnya.

"Kau masih terlalu kecil, Nak. Nanti akan banyak kamu temui berbagai sifat hewan lain. Hendaklah mawas diri dari segala tipu daya dan muslihat."

Gajah kecil pun mengekor di belakang ayahnya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu.


TAMAT


Catatan:
"Ketamakan Membinasakan" karya Nona Typo adalah salah satu cerpen terbaik hasil penilaian antarpeserta dalam kegiatan Tiga Pilar Kata persembahan Komunitas Saung Karsa edisi 2 - 8 Juli 2023.

Tentang Penulis:
Nona Typo, seorang wanita Aquarius yang gemar menulis, meskipun belum memahami kaidah penulisan yang benar secara sempurna. Sesuai namanya, sering tanpa sengaja melakukan tipo. Penikmat kopi dan hujan ini adalah sosok penyendiri. Itulah sebabnya isi karya tulisnya tidak jauh dari kisah pilu. Perempuan kelahiran Yogyakarta ini kini tinggal di kota dingin Malang.

3 Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.

Posting Komentar

Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.